Psikologi Politik dan Pemilihan Umum

Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si. yang akrab disapa Prof. Hamdi merupakan seorang Guru Besar, Dosen, dan Ketua Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Prof. Hamdi sudah menyukai politik sejak duduk di bangku SMA. Saat SMA, beliau senang membaca buku-buku sosial dan politik. Dengan ketertarikannya pada topik-topik sosial, politik, dan psikologi, beliau menemukan titik temu antara psikologi dengan sosial dan politik, yakni psikologi politik. Psikologi politik baru berkembang di luar negeri sehingga beliau mendalami psikologi politik secara otodidak dengan memesan dan membeli buku-buku impor secara online.

Saat menjadi mahasiswa yang sedang menempuh studi doktoral di Fakultas Psikologi UI, Prof. Hamdi pernah berkesempatan memberikan pidato di Dies Natalis Fakultas Psikologi UI. Pidato tersebut membahas tentang masa depan psikologi politik di Indonesia. Kemudian pada tahun 2008, Prof. Hamdi mendirikan Laboratorium Psikologi Politik (Labsipol) di Fakultas Psikologi UI. Itulah awal mula terbentuknya Labsipol Fakultas Psikologi UI yang terus berkembang hingga saat ini.

Menurut Prof. Hamdi, psikologi politik itu tentang bagaimana memanfaatkan teori -teori psikologi untuk memahami dunia politik dan fokus pada kajian perilaku manusia terhadap politik. Dalam politik terdapat beberapa fokus kajian, ada yang berfokus kepada hukum, sistem, filsafat, Undang-Undang, dan administrasi. Psikologi politik berfokus pada kajian perilaku manusianya. Jadi, psikologi politik merupakan kajian perilaku manusia terhadap politik atau ilmu untuk memahami perilaku politik.

Beberapa contoh topik-topik penelitian dalam psikologi politik, yaitu tentang perilaku memilih, alasan mahasiswa melakukan demo, perilaku korupsi, perilaku para anggota partai politik, dan studi tentang bagaimana kepribadian seorang presiden memengaruhi kebijakan-kebijakan di suatu negara. Psikologi politik juga mengkaji mengenai perilaku individu yang tidak ingin membayar pajak karena ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Selain itu, studi terorisme juga bagian dari kajian psikologi politik karena pelaku ingin membuat negara sendiri dan membujuk suatu kelompok untuk tidak percaya pada negara. Prof. Hamdi menjelaskan pada intinya hal-hal yang berkaitan tentang perilaku manusia dalam konteks berbangsa dan bernegara masuk ke dalam cakupan psikologi politik.

Prof. Hamdi juga mencoba memberikan salah satu contoh penelitian dalam konteks pemilihan umum (pemilu). Berdasarkan hasil penelitian, hal yang memengaruhi para pemilih adalah rasa suka dan emosi-emosi positif yang dirasakan terhadap calon pemimpinnya. “Changing the mind and the heart”, menjadi kunci untuk meyakinkan seorang pemilih untuk memilih calon pemimpinnya. Calon pemimpin yang dapat memengaruhi orang sekitarnya adalah calon pemimpin yang bisa membuat dirinya disukai secara emosional. Hal ini merupakan contoh Political Marketing yang mengadopsi hasil-hasil penelitian tentang emosi-emosi manusia untuk kebutuhan politik. Hal inilah yang juga dilakukan oleh para konsultan politik.

Membahas tentang pemilu, Prof. Hamdi menjelaskan tentang perilaku tidak memilih (Non-Voting Behavior). Terdapat beberapa alasan seseorang melakukan Non-Voting Behavior. Seseorang bisa merasa memilih bukanlah hal yang penting, ia tidak perlu memilih dan masih banyak hal lain yang perlu ia pikirkan daripada memilih calon pemimpin. Seseorang tersebut tidak ada rasa memiliki terhadap partisipasi dan kontribusi politik. Seseorang juga bisa saja tidak memilih karena ia terlalu kritis dan tidak ada calon kandidat yang disukai sehingga ia tidak memilih siapapun. Atau justru sebaliknya, seseorang sudah terlalu percaya pada setiap kandidat sehingga membiarkan orang lain yang memilih dan mewakilkan suaranya dalam pemilihan. Selain itu, Non-Voting Behavior bisa saja menjadi bentuk protes seseorang yang tidak menyukai sistem di negaranya.

Berdasarkan tingkat partisipasi pemilih, Prof. Hamdi mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat partisipasi memilih yang tinggi dalam pemilihan presiden, yakni di kisaran 90%. Berbeda dengan beberapa negara maju yang berada di kisaran 60%. Pemilu dianggap sebagai pesta demokrasi atau bisa dikatakan seperti “lebaran” Indonesia yang penuh antusiasme dan difasilitasi sebagai hari libur nasional oleh pemerintah.

Tahun 2024 menjadi tahun pemilu serentak nasional di Indonesia. Berdasarkan sudut pandang Prof. Hamdi, Pemilu 2024 termasuk pemilu yang tenang dan damai jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Hal ini dilihat berdasarkan polarisasi yang terjadi. Polarisasi adalah fenomena kelompok memiliki pemahaman dan sudut pandang yang berbeda secara politis. Mudahnya, Prof. Hamdi menyebutkan polarisasi merupakan perseteruan antar calon kandidat dalam pemilu. Pemilu 2024 menjadi momen “cooling down” dari polarisasi panas pemilu-pemilu sebelumnya yang cenderung banyak membawa sentimen agama, hoax, dan ujaran kebencian. Hal ini merupakan suatu keadaan yang perlu kita syukuri dari pemilu Indonesia karena ada beberapa negara lain yang memiliki situasi pemilu yang mencekam, seperti adanya pembunuhan hingga saling serang serta meneror.

Pada Pemilu 2024, terdapat calon-calon kandidat dari Generasi Milenial dan Gen Z. Hal ini merupakan hal positif dari pemilu Indonesia yang perlu disambut baik. Di Eropa, generasi muda sudah banyak yang mencalonkan diri dalam pemilu. Indonesia termasuk negara yang politisi generasi mudanya masih sedikit. Hambatan politik bagi generasi muda cukup tinggi dengan adanya biaya politik yang mahal. Selain itu, politik Indonesia masih didominasi dengan politisi senior. Keadaan ini disebut dengan Gerontokrasi. Gerontokrasi adalah keadaan politik dan pemerintahan yang dikuasai dan didominasi oleh orang yang lebih tua dibandingkan dengan rata-rata populasi dewasa. Hal ini mengakibatkan terhalangnya mobilitas vertikal politik politisi generasi lebih muda. Partai politik sebaiknya mulai menarik para generasi muda untuk turut mengambil peran dan berkontribusi dengan memberikan pendidikan politik dan memfasilitasi kesempatan bergabung dalam partai politik bagi generasi muda. Generasi muda perlu turut andil agar memudahkan adanya regenerasi yang dapat membawa perubahan yang lebih baik.

Sebagai generasi muda, Generasi Milenial dan Gen Z merupakan Digital Native. Digital Native adalah orang yang sudah mengenal teknologi sejak dini dan terbiasa menggunakan teknologi dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Dengan keadaan ini, Generasi Milenial dan Gen Z mengalami disrupsi kehidupan, yakni inovasi atau cara-cara baru yang menggantikan cara-cara lama. Jika biasanya kampanye dilakukan dengan berkumpul di lapangan, kini hal tersebut bisa dilakukan secara daring lewat internet dan media sosial. Hal tersebut kemungkinan dapat menekan biaya politik jadi lebih murah dan terjangkau bagi para generasi muda.

Dalam memilih calon kandidat terbaik di pemilu, masyarakat perlu mengetahui, mempelajari, dan memahami gagasan, ide, rasionalisasi, visi, misi, serta program-program setiap calon kandidat. Di era digital seperti saat ini, masyarakat dapat lebih proaktif mencari informasi, mengikuti berita dan isu-isu terkini untuk bisa memilih calon pemimpin terbaik. Kualitas pemilu juga perlu diperbaiki dari sisi sistem dan SDM. Baik sistem maupun SDM perlu diperbaiki secara bersamaan. Jika membenahi sistem terlebih dahulu, butuh waktu yang cukup lama. Jika sistem sudah diperbaiki, namun dikendalikan oleh SDM yang belum baik, sistem tersebut juga tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, keduanya perlu diselaraskan bersamaan.

Di Indonesia sendiri terdapat program “She Leads Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia. Tujuan dari program ini adalah meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu (KPU RI dan Bawaslu RI). Pada program ini, para peserta perempuan diberikan pelatihan ilmu demokrasi, kepemiluan, dan kepemimpinan. Program ini tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga ada di Myanmar dan Srilanka. Selain itu, ada juga program lain yang berkaitan dengan pemilu, misalnya beberapa koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan program kawal pemilu untuk mencegah kecurangan pemilu.

Prof. Hamdi juga menjelaskan mengapa begitu banyak partai politik dan calon kandidat yang diikutsertakan dalam kertas suara pemilu. Keadaan ini dikenal dengan sistem proporsional terbuka. Sistem ini merupakan bagian dari memberikan kesempatan yang terbuka seluas-luasnya bagi siapapun untuk dipilih langsung oleh masyarakat atau dianggap lebih demokratis.

Sebagai seseorang yang sudah menggeluti bidang politik sejak lama, Prof. Hamdi berharap adanya penyederhanaan partai politik yang dapat mengikuti pemilu. Dengan demikian, partai politik yang akan dipilih oleh masyarakat adalah partai politik yang paling memenuhi kualifikasi terbaik. Selain itu, Prof. Hamdi juga berharap adanya pelaksanaan Single- Member District. Single-Member District yang dimaksud adalah setiap daerah pemilihan diwakili oleh satu orang kandidat tunggal yang sudah diseleksi dengan ketat untuk mewakili daerahnya. Dengan adanya penyederhanaan partai politik dan Single-Member District, diharapkan dapat menyederhanakan pilihan yang memudahkan masyarakat untuk memilih. Masyarakat juga bisa dengan mudah mencari informasi dan mengenali calon kandidat dengan baik sehingga mereka dapat memilih dengan bijak, bukan asal-asalan.

Prof. Hamdi berharap politik dan pemilu Indonesia terus berkembang ke arah yang lebih baik dan terus berada dalam keadaan damai serta aman. Ini merupakan tugas bersama dan butuh waktu dalam prosesnya. Seluruh elemen perlu saling bersinergi dan perlu dilakukan penguatan institusi, misalnya institusi pemerintah, partai politik, KPU RI, Bawaslu RI, TNI, POLRI, Jaksa Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), Pers, institusi terkait pendidikan, sekolah, perguruan tinggi dan lembaga kemahasiswaan, serta masyarakat. Bahkan jika ditarik dari ujungnya, hal ini bisa dimulai dari penguatan SDM mulai dari kandungan, gizi dan pendidikan individu yang baik, tercukupi sandang, pangan, papannya, tidak mengalami stunting sehingga menghasilkan individu berkualitas yang akan mengisi institusi-institusi untuk membangun bangsa dan menyelenggarakan negara dengan baik.

“Pada intinya, politics without psychology is crazy. Psychology without politics is goofy. Political Psychology makes them perfect,” ucap Prof. Hamdi dengan lantang.

We are using cookies to give you the best experience. You can find out more about which cookies we are using or switch them off in privacy settings.
AcceptPrivacy Settings

GDPR

× Whatsapp Fakultas