Sherly Saragih Turnip, S.Psi., M.Phil., Ph.D., Psikolog yang akrab disapa Mba Sherly merupakan seorang dosen di Fakultas Psikologi UI, periset, sekaligus ketua dari Kelompok Riset Research of Community Mental Health Initiative (RoCMHI). Kelompok Riset Research of Community Mental Health Initiative (RoCMHI) merupakan sebuah kelompok riset di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang berfokus untuk memajukan kesehatan mental Indonesia. Kelompok riset ini sudah berjalan selama 10 tahun dengan memberikan dukungan pada berbagai kelompok menggunakan intervensi berbasis komunitas dan berbasis bukti. Fakta bahwa kesehatan mental merupakan hak bagi setiap individu menjadi dasar diinisiasinya RoCMHI. RoCMHI ini juga diinisiasi untuk mengadakan edukasi kesehatan mental bagi setiap orang. Pada kesempatan ini, Mba Sherly yang bersama timnya aktif melaksanakan inisiatif di bidang Kesehatan Mental Komunitas membagikan perspektifnya terhadap kesehatan mental di Indonesia dan pengalamannya melaksanakan intervensi dan riset komunitas kelompok umur remaja.
Menurut Mba Sherly terdapat dua bagian definisi mengenai kesehatan mental komunitas. Pertama, kesehatan mental sendiri merupakan sebuah bagian dari seluruh kesehatan mental manusia yang menjadi kebutuhan mutlak untuk menjalani hari-hari dengan optimal. Sementara itu, komunitas merupakan latar dari kesehatan mental yang berada dalam kehidupan sehari-hari. Mba Sherly menjelaskan bahwa di Indonesia, populasi penduduk sudah dianggap terlalu banyak sehingga banyak pula individu yang mengalami masalah kesehatan mental mulai dari spektrum yang ringan hingga berat. Banyaknya penduduk dengan masalah kesehatan mental ini tidak diimbangi dengan banyaknya personel dan tenaga ahli di bidang kesehatan mental. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan komunitas yang bersifat massal melalui pendekatan peningkatan kesehatan mental (promotif), pencegahan masalah kesehatan mental (preventif), dan penyembuhan masalah kesehatan mental (kuratif).
Salah satu kelompok di Indonesia yang rentan karena memiliki berbagai faktor risiko merupakan kelompok remaja. Beberapa faktor risiko yang membuat remaja mengalami masalah hingga gangguan kejiwaan adalah kemungkinan adanya ketidakhadiran dari pengasuh hingga menjadi korban bullying di antara teman sebaya. Mba Sherly juga menggarisbawahi faktor risiko yang dapat dialami oleh remaja yang tinggal di lokasi akses terbatas, yaitu terbatasnya informasi, belum mumpuninya fasilitas pendidikan, dan pendelegasian pengasuhan kepada orang yang kurang tepat.
Berdasarkan penelitian terbaru, para remaja sudah mulai mencari bantuan. Namun, pada lokasi dengan akses yang terbatas, masih sedikit remaja yang mencari bantuan yang bersifat formal—seperti berkonsultasi kepada seorang profesional. Ditambah lagi, usaha para remaja yang telah mencari bantuan juga seringkali sia-sia karena orang sekitar yang diharapkan dapat membantu ternyata masih memiliki kesadaran yang kurang terkait kesehatan mental. Menariknya, semakin parah masalah kesehatan mental yang dialami para remaja, semakin berkurang usaha mereka untuk mencari bantuan.
Menurut Mba Sherly, sangat penting untuk melakukan edukasi kesehatan mental kepada para remaja dan masyarakat. Untuk pihak yang mencari bantuan, perlu disadarkan bahwa memiliki pikiran yang mengganggu merupakan suatu hal yang wajar. Selain itu, perlu diajarkan pula bagaimana cara menangani pikiran-pikiran tersebut dan ke mana mereka dapat mencari bantuan. Sementara itu, untuk pihak yang dapat membantu, perlu diberikan edukasi mengenai bagaimana cara menjadi pendengar yang baik agar dapat memberikan bantuan yang tepat bagi mereka yang membutuhkan bantuan.
Terakhir, Mba Sherly juga menggarisbawahi bahwa kesehatan mental bukanlah merupakan sebuah kemewahan, melainkan merupakan hak setiap manusia. Beliau berpesan untuk terus menjaga kesehatan mental diri sendiri, salah satunya dengan cara melakukan me time, memberikan afirmasi positif kepada diri sendiri, dan menghargai semua usaha yang sudah dilakukan. Dengan kesehatan mental diri sendiri yang baik, kita juga akan semakin mampu memerhatikan keadaan orang-orang di sekitar kita serta berkesempatan untuk ikut membantu menjaga kesehatan mental mereka.
“Bidang kesehatan mental di Indonesia masih banyak PR-nya, masih banyak yang akan bisa kita kerjakan. Menurut saya, it is a rewarding field, you do something and you get the positive feedback right away,” ujarnya.