JAKARTA – Banyak yang merasa bahwa pelajar masa kini atau pelajar “zaman now” dianggap lebih lemah mentalnya. Mereka dinilai tidak tahan banting, rapuh, mudah menyerah, mudah tersakiti, dan mudah tersinggung dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Pendapat ini diperkuat dengan kasus-kasus di mana pelajar masa kini terlihat sering ”kena mental”, misalnya seperti kasus perkelahian antar pelajar, self-diagnose atau mendiagnosa diri sendiri, pamer gangguan kesehatan mental di media sosial, banyak mengeluh di media sosial, hingga bunuh diri.
Tapi, sebenarnya apa benar jika kita menyebut pelajar masa kini lebih mudah “kena mental”? Jika teman-teman termasuk pelajar masa kini, jangan tersinggung dulu! Yuk, kita bahas apakah sudah pasti benar bahwa teman-teman gampang “kena mental”?
Kesehatan Mental Pelajar Masa Kini
Teman-teman yang merupakan pelajar masa kini termasuk dalam gen Z atau kira-kira sekarang berumur 15 hingga 21 tahun. Menurut survei yang dilaporkan oleh American Psychological Association, gen Z cenderung melaporkan kesehatan mental yang lebih rendah dibandingkan generasi lain.
Lebih dari 90% gen Z dalam peserta survei menyatakan bahwa mereka pernah merasakan setidaknya satu gejala fisik atau emosional karena stress dan hanya setengah dari mereka yang merasa bisa meregulasi stress tersebut dengan baik.
Survei yang dilakukan oleh McKinsey Consumer Behavioral Health Survey terhadap lebih dari 800 gen Z menunjukkan bahwa mereka secara signifikan lebih rentang mengalami masalah perilaku (contoh, penggunaan zat secara berlebihan) dibandingkan generasi lain. Gen Z juga 2 sampai 3 kali lebih rentan dalam melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan generasi lainnya.
Jika melihat kondisi yang terjadi di Indonesia, tampaknya juga sekarang semakin marak berita-berita yang menunjukkan bahwa gen Z atau pelajar masa kini mudah “kena mental”. Misalnya seperti banyaknya kasus perkelahian antar pelajar karena hal-hal sepele atau kasus-kasus remaja dengan gangguan kesehatan mental.
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pun melaporkan bahwa pada tahun 2022, setidaknya 1 dari 3 remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Sementara Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP), Sandersan Onie, menyatakan bahwa gen Z saat ini memang lebih rentan mengalami depresi.
Kenapa Pelajar Masa Kini Rentan “Kena Mental”?
Kenapa, sih, hal-hal ini bisa terjadi? Kenapa pelajar masa kini bisa lebih rentan “kena mental”? Alasan pertama tentunya karena perkembangan media sosial. Zaman dulu, kita tidak mengenal media sosial sehingga tidak mudah untuk mengetahui kehidupan dan pencapaian orang lain.
Sedangkan saat ini, kita bahkan bisa mengetahui hal-hal apa saja yang sedang terjadi di belahan dunia lain. Kita bisa mengetahui apa yang sedang populer atau apa yang sedang ramai dibahas dan dibicarakan.
Hal ini tentunya membuat teman-teman cenderung membandingkan diri dengan orang lain, kan? Kalian pasti menjadi memiliki banyak keinginan dan semakin menyadari bahwa banyak hal yang belum kalian miliki. Hal ini akhirnya menjadi sumber stress yang membuat teman-teman gen Z atau pelajar masa kini lebih mudah “kena mental”.
Perkembangan teknologi dan media sosial juga memudahkan kita mengakses berbagai berita. Nah, sudah pasti berita yang kita lihat tersebut bukan hanya berita-berita positif, kan? Tentu saja juga ada berita negatif yang membuat marah, cemas, atau takut. Sebut saja bencana alam, terorisme, korupsi, wabah penyakit, hingga perang. Berita-berita ini juga bisa, lho, menyebabkan teman-teman lebih gampang “kena mental”.
Jadi, Apa Benar Pelajar Masa Kini Gampang “Kena Mental”?
Tapi, meskipun terkesan bahwa pelajar masa kini memiliki lebih banyak tantangan dan mudah “kena mental”, nyatanya bisa saja tidak demikian. Kembali lagi kepada perkembangan teknologi dan media sosial. Mungkin saja bukan pelajar masa kini yang lebih mudah “kena mental”, tapi kita yang semakin sadar terhadap hal-hal terkait kesehatan mental sehingga masalah terkait kesehatan mental menjadi lebih mudah teridentifikasi.
Masih berdasarkan survei yang sama dari American Psychological Association, ditemukan bahwa gen Z lebih cenderung mencari bantuan kesehatan mental dibandingkan generasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin saja mereka lebih paham, peka, dan peduli terhadap kesehatan mental mereka dibandingkan generasi sebelumnya.
Dulu, kita mungkin tidak mengenali gejala-gejala depresi dan kecemasan. Kita mungkin hanya menganggap hal tersebut sebagai perasaan sedih dan takut biasa. Tapi, seiring berjalannya waktu, saat ini kita memahami bahwa mungkin saja perasaan-perasaan negatif yang kita rasakan sebaiknya dikonsultasikan lebih lanjut dengan tenaga kesehatan mental profesional.
Maraknya persebaran berita juga akhirnya membuat seakan-akan semakin banyak kasus pelajar yang “kena mental”. Padahal, bisa saja memang karena sebelumnya kita yang tidak bisa mengakses berita-berita tersebut. Coba bayangkan masa belasan atau puluhan tahun yang lalu. Masa-masa di mana telepon genggam tidak secanggih saat ini.
Masa-masa di mana mungkin masih ada televisi yang tidak jernih. Masa-masa di mana kita masih menggunakan layar tancap untuk menonton bersama. Tentunya kondisi ini berbeda dengan masa sekarang di mana kita sudah bisa mengetahui banyak hal hanya dengan mengetik dan mencarinya menggunakan gadget.
Jadi, dibandingkan kita sibuk memberikan stigma, alangkah lebih baik jika kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang positif bagi generasi masa kini, khususnya para pelajar, dan berusaha memberikan fasilitas yang memadai untuk perkembangan mereka, termasuk untuk menjaga kesehatan mental mereka.
Ditulis oleh :
Khairunnisa Fahira Dumbi, S.Psi