Dunia saat ini mengalami beragam patahan. Trauma berkelanjutan Covid-19 menghasilkan lesi kuat pada seluruh generasi. Bersamaan dengan itu, berlangsung juga perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan perang Rusia-Ukraina. Itu semua mengubah secara drastis interaksi sosial di Bumi.
Hingga kini kita masih bertanya apa yang harus dilakukan dan belum ada kejelasan tentang itu.
Masih di tengah bencana, orang berusaha untuk memulai proses perbaikan ekonomi, sosial, dan moral. Muncul kesadaran untuk mengembangkan budaya dan pranata baru yang memberi kerangka orientasi bagi hidup ke depan.
Sebelum ke budaya dan pranata baru, kita perlu mempertimbangkan trauma dari pengalaman isolasi sosial berkepanjangan ini, menyadari bahwa itu tidak hanya merusak pengalaman kita sebagai diri sosial, tetapi juga muatan kesedihannya yang luar biasa merampas harapan pemulihan diri.
Kita butuh pemahaman bahwa rasa nelangsa ini didasari ketidakselarasan antara kesadaran sosio-historis, imajinasi bencana, dan rasa kedirian kita yang bias. Kita juga perlu mempertimbangkan kembali trauma bukan hanya akhir dari apa yang ada, melainkan awal dari apa yang masih mungkin terjadi, sebagai perbaikan tanpa rencana induk.
Mempelajari kegalauan kita
Setelah lebih dari dua tahun dalam pandemi, bisa kita pelajari, trauma yang kita alami tidak terletak hanya pada terampasnya secara tiba-tiba kebebasan, keamanan, dan rutinitas yang berganti dengan kekerasan. Pandemi Covid-19 bukan satu-satunya kekerasan yang meratakan dan menghancurkan kita.
Hal lain yang membuat kita mengalami kegalauan berat dan rasa terombang-ambing adalah ilusi kestabilan bahwa ada keadaan stabil yang dapat dicapai. Di sisi lain, ada perasaan terancam karena dunia terus berubah, tak dapat diprediksi, tak selalu bisa dipegang.
Bersamaan itu pula, ada rasa ingin mapan, identitas yang jelas, aturan yang jelas, orientasi hidup yang pasti.
Dua kecenderungan itu menghasilkan daya yang kuat pada diri kita, memengaruhi perasaan, pikiran, dan tingkah laku di berbagai ranah. Orang punya kebutuhan otonomi, merasa kompeten, dan terhubung dengan orang lain. Itu semua digoyahkan oleh Covid-19.
Pukulan telak sangat keras diberikan pandemi ketika orang sedang percaya bahwa mereka mendapat pemenuhan tiga kebutuhan itu dari teknologi informasi yang meleluasakan setiap orang untuk menampilkan diri sesuai keinginannya, bisa memiliki efek pada dunia dari mana pun mereka berada, dan bisa terhubung dengan siapa saja dengan bantuan teknologi.
Ilusi kemapanan yang mendominasi perasaan, pikiran, dan tingkah laku dibuyarkan oleh pandemi. Orang menyadari bahwa pemenuhan atas tiga kebutuhan itu semu. Ketika pada kenyataannya orang tak kuasa menahan efek Covid-19, terpaku situasi wabah dan terisolasi dari orang lain, kita sadar kestabilan itu ilusi dan merasa kehidupannya ambyar. Itu menjadi sumber galau panjang yang melanda orang-orang.
Kegalauan lebih tinggi melanda orang-orang yang sebelumnya memiliki banyak keleluasaan dan hak istimewa. Mungkin karena begitu banyak dari mereka telah terlindung dari keputusasaan yang lahir dari kemiskinan dan penindasan sosial ekonomi. Mereka merasa sangat beruntung, tetapi entah bagaimana tiba-tiba dan tidak terduga, sadar atau tidak, terkelabui atas apa yang sebenarnya terjadi.
Pandemi membuat mereka merasa ditipu oleh dunia.
Jadi, mereka trauma bukan hanya karena pandeminya begitu mengerikan—dan memang demikian—melainkan juga karena ”efek balas dendam” dari begitu banyak hak istimewa sosial ekonomi, geografis, dan epistemik yang diterima begitu saja oleh mereka. Sementara mereka tidak peduli dengan epistemologi rumit dari sejarah manusia kita sendiri.
Pandemi ini memberikan pemahaman bahwa kegalauan dan rasa merana kita berakar pada kecenderungan kita memandang diri sendiri dan keadaan melalui berbagai filter persepsi, lensa epistemik dan moral yang melaluinya kita melihat dunia sebagai fungsi hak istimewa, mengarahkan kita untuk mengabaikan, tidak tahu, atau berasumsi tentang realitas yang ada.
Kita merasa segala sesuatu berjalan dengan baik, tetapi ternyata tidak. Kita merasa harusnya terhindar dari kemalangan, padahal kemalangan selalu mungkin ada.
Kita merasa selalu beruntung, padahal kejadian buruk tetap mengintai. Kita merasa punya moral yang baik, padahal bisa jadi ada banyak yang dirugikan oleh nilai moral kita.
Ini semua memengaruhi berbagai ranah kehidupan, termasuk di ranah politik yang terus-menerus diramaikan dengan klaim paling benar dan paling berhasil untuk pihak sendiri, sebaliknya menuduh pihak lain paling buruk dan paling gagal.
Semua asumsi yang belum teruji, ketidaktahuan sosiohistoris, dan imajinasi yang sempit menghasilkan trauma yang lebih parah dan lebih lama daripada trauma pandemi Covid-19 itu sendiri.
Memadu berpikir kritis dan optimisme
Menghadapi situasi Indonesia dan dunia pasca-Covid-19, kita perlu harapan dan optimisme, tetapi kita juga perlu kritis terhadap keadaan yang terjadi di masyarakat.
Perpaduan berpikir kritis dan mind-set (pola pikir) terbuka yang positif adalah kekuatan yang kita perlukan saat ini. Berpikir kritis bisa membawa kita pada pemahaman tentang krisis dan kejadian-kejadian tragis yang mengelilingi kita.
Mind-set terbuka yang positif bisa memberi kita kekuatan untuk terus menghadapi situasi itu sebagai suatu kesempatan melakukan perubahan dan perbaikan, serta mencapai kemajuan di masa-masa berat. Optimisme dapat dihasilkan dari paduan dua kekuatan manusia itu. Apa yang dibutuhkan adalah pencarian makna dalam tragedi-tragedi yang tak terhindarkan dari keberadaan kita sebagai manusia; menerima hal buruk yang terjadi, mengakuinya, dan menemukan makna.
Ketimbang menghindari kegelapan, menyangkal kepahitan, dan membohongi diri bahwa segala sesuatu baik-baik saja, lebih baik apabila kita menerima ada yang tidak beres dan menyakitkan, lalu menemukan makna dari situ.
Penemuan makna memerlukan optimisme, tetap berharap di masa sulit, membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan begitu, kita bisa punya daya yang lebih besar untuk menjalani kehidupan secara baik, bahkan memperbaiki dunia.
Tak bisa dimungkiri, pandemi Covid-19 juga memberikan kepada kita pemahaman mengenai hal-hal baik yang sebelumnya tak kita sadari atau kita abaikan. Kita sadar betapa banyak pemborosan dan kesia-siaan yang terjadi dalam pekerjaan dan konsumsi.
Kita juga sadar ternyata ada banyak cara alternatif dari apa yang kita kerjakan. Kita dibukakan pada berbagai kemungkinan baru yang sebelumnya terabaikan. Itu semua mengindikasikan adanya kekuatan pada diri manusia untuk bisa menjalani masa sulit.
Kita bisa belajar dari situ bahwa manusia punya daya untuk menangani masalah-masalahnya di tengah penderitaan. Kita menyaksikan banyak sekali manusia yang saling membantu di tengah kerasnya deraan pandemi. Ini bisa jadi salah satu makna yang kita dapat dari hari-hari berat yang kita lewati akibat Covid-19.
Kesadaran akan keberadaan manusia yang tidak stabil, sikap kritis dan optimisme juga bisa berperan dalam kehidupan politik dunia, termasuk Indonesia. Jika sebelumnya ilusi stabilitas, rasa memiliki hak istimewa, rasa kelompok sendiri benar, dan keinginan lebih berkuasa terhadap pihak lain mendekam dan mendominasi perilaku politik, kesadaran baru yang dinamis, terbuka, dan egaliter akan membawa kita kepada situasi saling memahami, saling membantu.
Kita berharap situasi politik Indonesia bisa menjadi lebih baik dan menyejahterakan dengan kesadaran baru itu.
Bersiap akan yang buruk, berharap yang terbaik
Menghadapi situasi yang penuh dengan patahan ini, kita perlu kembali memahami kecenderungan melihat dunia.
Kesadaran akan keberadaan manusia yang selalu serba mungkin, termasuk mengalami kejadian buruk tak terduga, semakin penting untuk kita dalam menghadapi situasi dunia yang penuh patahan besar ini.
Meski kehausan akan stabilitas kuat pada diri kita, hasrat itu tak boleh menghanyutkan kita. Alih-alih larut dalam rasa tak menentu, kita perlu melatih diri kita dengan puasa dari konsumsi ilusi stabilitas.
Ada anggapan bahwa pandemi merupakan periode ketakmenentuan yang tanpa preseden. Namun, faktanya ketakmenentuan selalu bersama manusia, bukan hanya di masa pandemi. Kita hanya memilih tidak melihatnya, mengabaikannya. Kita memilih percaya bahwa kita punya kontrol atas situasi, mengendalikan dunia di sekitar kita. Itu kita lakukan karena memberikan rasa nyaman pada diri kita.
Betapapun, alam dan hukumnya niscaya bersifat tidak mesti. Apa yang kita anggap tetap, tidak mesti tetap. Apa yang kita anggap baik-baik saja, tidak mesti baik-baik saja. Dengan demikian, kita perlu selalu waspada, bersiap menghadapi perubahan hal-hal yang kita anggap mapan. Kita perlu selalu siap pada kemungkinan baru.
Paduan sikap kritis terhadap dunia dan optimisme yang mengandung banyak harapan baik membantu kita untuk bisa membuang ilusi stabilitas dan terhindar dari nelangsa berkepanjangan. Dengan begitu, kita bisa melampaui patahan-patahan yang ada, menyeberangi celah yang memisahkan kita dari kebahagiaan.
Sumber: Koran Kompas, Edisi: Selasa 28 Juni 2022, Kolom Opini
Foto oleh Eva Tobing