Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. Namun, stigma dan terbatasnya layanan membuat kesehatan jiwa masih menjadi urusan yang terpinggirkan. Padahal, kesehatan mental penduduk mudajadi penentu produktivitas penduduk.
Pandemi Covid-19 tidak hanya menyebarkan virus korona, tetapi juga kecemasan dan berbagai masalah kesehatan jiwa di masyarakat. Namun, perhatian dan upaya mengatasi dampak pandemi pada mental masyarakat itu kalah jauh dibandingkan upaya penanganan kesehatan fisik akibat korona.
”Kesehatan mental masih dianggap tidak sama pentingnya dengan kesehatan fisik,” kata Ketua Laboratorium Intervensi Sosial dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicky Pelupessy, Selasa (13/4/2021).
Rendahnya pemahaman itu membuat banyak persoalan jiwa yang bisa dicegah dan diatasi sejak dini justru ditemukan dalam kondisi berat dan memengaruhi kualitas hidup masyarakat. Rendahnya pemahaman itu juga terjadi pada penduduk usia muda sebagai cerminan dari kondisi umum di masyarakat.
Padahal, anak muda merupakan kelompok populasi yang paling terdampak jiwanya selama pandemi. Stres, cemas, depresi, hingga keinginan bunuh diri muncul sebagai respons atas isolasi, masa depan yang tak pasti, hingga ekonomi yang menurun.
Berbagai persoalan kesehatan mental itu dipastikan akan memengaruhi produktivitas mereka. Padahal, mereka adalah tulang punggung Indonesia untuk mencapai bonus demografi yang puncaknya diprediksi akan terjadi pada 2021-2022 sesuai Proyeksi Penduduk 2015-2045 atau 2028-2031 sesuai Proyeksi Penduduk 2010-2035.
Untuk mendongkrak kesadaran mental masyarakat, lanjut Dicky, layanan kesehatan mental harus diperluas. Saat ini dengan sekitar 3.000 psikolog klinis dan 1.000-an dokter spesialis kesehatan jiwa atau psikiater tentu sulit menjangkau 270 juta penduduk Indonesia. Wilayah geografis yang berpulau membuat jumlah profesional kesehatan jiwa yang terbatas itu terkumpul di kota-kota besar saja.
Lemahnya perhatian terhadap kesehatan mental itu menuntut pemerintah dan masyarakat lebih peka dengan isu kesehatan mental, khususnya pada kaum muda.
”Budaya kita harus mengakui pentingnya kesehatan mental dan juga penyakit mental itu nyata. Perasaan dan penyakit tidak boleh diminimalisasi, harus dibicarakan agar bukan menjadi topik yang tabu,” ujar Staf Khusus Bidang Kreativitas dan Inovasi Kaum Milenial Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Alia Noorayu Laksono.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan (Kemkes) Siti Khalimah mengatakan, stigma tentang kesehatan jiwa membuat layanan kesehatan mental yang sudah diberikan pemerintah belum optimal diakses oleh masyarakat. Masih banyak masyarakat, khususnya anak muda, yang khawatir akan stigma tersebut jika melakukan konsultasi kesehatan jiwa.
Tak hanya itu, anak muda juga enggan berkonsultasi karena takut jika ditanya identitas diri. ”Padahal saat berkonsultasi, identitas yang ditanya hanya usia, jenis kelamin, dan daerah asal untuk identifikasi awal,” tambahnya.
Selama pandemi, pemerintah dan organisasi profesi membuka layanan konsultasi melalui saluran telepon di 119 dengan nomor perpanjangan (extension) 8 sudah disediakan. Selain itu, Kemenkes juga menyediakan layanan konsultasi daring secara gratis yang bisa diakses melalui aplikasi Sehat Jiwa. Setidaknya, enam konselor yang terdiri dari tiga psikolog dan tiga psikiater siap melayani masyarakat yang mengakses kedua layanan itu.
Selain itu, untuk memperluas akses layanan kesehatan jiwa, Kemkes sudah melatih sekitar 10.000 perawat agar mampu memberi dukungan keperawatan jiwa bagi seluruh keluarga di Indonesia. Ditargetkan, para perawat itu mampu mendampingi 50 juta keluarga. Agar implementasi layanan kesehatan jiwa berjalan optimal, pemerintah juga membentuk tim pelayanan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial di 15 provinsi.
”Menyelamatkan generasi muda perlu kerja sama semua pihak, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta lintas sektor. Kita perlu menyepakati bersama bahwa kesehatan jiwa tidak terpisahkan dari kesehatan masyarakat dan butuh perhatian serius,” ujar Siti.
Upaya bersama
Upaya menjaga kesehatan mental masyarakat memang tidak bisa bertumpu pada sektor kesehatan saja yang bersifat kuratif atau pengobatan. Upaya menjaga agar mental masyarakat tetap sehat, butuh dukungan banyak pihak, mulai dari pembangunan sistem transportasi publik yang baik maupun terbangunnya ruang-ruang publik yang bisa digunakan masyarakat untuk berinteraksi bersama dan melepas beban jiwa.
”Banyak studi menunjukkan, tersedianya taman-taman kota atau ruang publik yang baik membuat masyarakat lebih bahagia dan terjaga kesehatan mentalnya,” kata Dicky.
Infrastruktur penunjang kesehatan mental ini bisa menjadi sarana pencegahan atau preventif berbagai gangguan jiwa hingga dampaknya tidak terlalu besar bagi ekonomi negara.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto menambahkan, koordinasi lintas kementerian dan lembaga perlu diperkuat.
”Peningkatan koordinasi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan dan lembaga lain akan menjadi fokus pemerintah untuk menyelamatkan masa depan generasi muda kita,” tuturnya.
Dorong hal positif
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto menuturkan, selain dampak negatif, pandemi Covid-19 sebenarnya juga memunculkan banyak sisi positif bagi kaum muda. Di tengah keterbatasan akibat pandemi, justru banyak muncul inovasi dari berkembangnya usaha rintisan (start up) dan usaha bisnis daring.
Kreativitas anak muda pun berkembang. Berbagai produk kreasi yang orisinal dan pengembangan produk-produk lokal maupun internasional yang sudah ada banyak dijual. Bahkan, pandemi juga membuat destinasi wisata baru makin populer dengan memanfaatkan sosial media.
”Semua hal positif itu patut dioptimalkan guna memberikan kegiatan positif maupun peluang kerja baru bagi kalangan muda yang terdampak pandemi Covid-19,” katanya. Dengan demikian, kaum muda bisa mengisi waktu dan mengalihkan pikiran mereka dari hal-hal buruk yang bisa menyerang kesehatan mentalnya atau mengikuti gerakan-gerakan ekstrem.
Namun, upaya mempromosikan hal-hal positif yang muncul dari anak muda selama pandemi itu, lanjut Gatot, tidak bisa dilakukan Kemenpora sendiri karena terbatasnya anggaran yang dimiliki. Dukungan kementerian dan lembaga lain yang memiliki anggaran kepemudaan diperlukan.
”Sejatinya, ada Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan. Namun, perpres itu belum berjalan optimal,” katanya.