Dicky Pelupessy: Bukan Penyembuhan Trauma

Presiden Joko widodo menyalami warga yang menyambutnya saat tiba di Posko Pengungsian di dusun Menggala, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Minggu (2/9/2018). Pemerintah mulai menyalurkan bantuan dana untuk perbaikan rumah yang rusak karena gempa bumi. Saat itu pemerintah membagikan buku tabungan kepada lebihd ari 5.000 warga korban gempa.

Tiga minggu setelah gempa Lombok, 5 Agustus 2018, saya menerima panggilan telepon dari seorang teman. Teman saya menyampaikan bahwa seorang asing yang dikenalnya menyebutkan ada proporsi signifikan pengungsi gempa Lombok yang mengalami gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD).

Teman saya menanyakan pendapat saya atas pernyataan orang asing tersebut. Saya pun menjawab bahwa pernyataan itu tidak akurat dan cenderung mengada- ada. Mengapa? Tidak akurat karena pelabelan itu, yang seakan hasil diagnosis, dilakukan kurang dari sebulan setelah kejadian. Mengada-ada karena begitu mudahnya menyebut ada proporsi yang signifikan penderita PTSD.

Medikalisasi pengalaman

Penilaian orang asing kenalan teman saya itu centang perenang, merepresentasikan obsesi berlebihan terhadap kondisi sakit pada mereka yang terdampak bencana. Obsesi ini bukan wujud eksotisme yang kadang menjangkiti orang asing saat mengamati orang lokal di negara seperti Indonesia. Obsesi eksesif ini menjangkiti pula orang lokal yang mengamati kondisi orang lokal lainnya.

Apa buktinya? Belakangan ini, setelah kejadian gempa Lombok serta gempa dan tsunami Palu- Donggala, begitu sering kita mendengar istilah trauma dan penyembuhan trauma (trauma healing). Kata trauma dipakai untuk menggambarkan kondisi sakit secara psikologis yang dialami mereka yang selamat dari kejadian bencana. Mereka yang mengungsi digambarkan mengalami luka psikologis begitu mendalam.

Anak-anak terutama yang paling sering digambarkan mengalami trauma. Karena itu, paling sering didapati kegiatan bermain-main dengan anak yang diklaim sebagai cara untuk menyembuhkan trauma. Liputan-liputan media terhadap kegiatan sukarelawan yang melakukan penyembuhan trauma pada anak- anak makin menguatkan obsesi kita atas sakitnya masyarakat secara psikologis pascabencana.

Di tengah seringnya kita mendengar istilah trauma dan penyembuhan trauma, sesungguhnya pertanyaan kritis bisa kita ajukan, yaitu apakah benar mereka yang selamat dari kejadian bencana otomatis mengalami sakit secara psikologis? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa melakukan penelitian. Namun, kita bisa saja tidak perlu menelitinya. Mengapa?

Tahun 2012, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) merilis proyeksi gangguan mental pada populasi yang terdampak bencana. Menurut WHO, sebelum kejadian bencana, 2-3 persen dari populasi memiliki gangguan berat (severe disorder), sedangkan setelah kejadian bencana menjadi 3-4 persen. Hal ini berarti bahwa populasi yang memiliki gangguan berat mungkin saja tak bertambah setelah kejadian bencana. Sebelum dan setelah bencana tetap 3 persen.

Andai ada tambahan, lonjakannya tak begitu dramatis. Dalam proyeksi WHO tersebut, setelah kejadian bencana sebagian besar populasi (76-82 persen) mengalami stres masih dalam batas normal dan tidak mengembangkan gangguan mental apa pun.

Selain dari proyeksi WHO tersebut, jawaban juga bisa diperoleh dari apa yang diperingatkan Derek Summerfield (1999, 2012). Summerfield, seorang psikiater kritis, mengingatkan bahwa istilah trauma menjadi populer dalam percakapan sehari-hari (trauma discourse) akibat terjadinya medikalisasi pengalaman (the medicalization of experience).

Medikalisasi pengalaman adalah proses di mana pengalaman individu dalam kehidupannya yang sosial diubah menjadi suatu kategori biopsikomedis (biopsychomedical). Dengan kata lain, gagasan- gagasan tentang penyakit (disease) dan sakit (illness) digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman manusia yang pada dasarnya bersifat sosial dan budaya.

Akibat medikalisasi, pengalaman individu bisa berujung pada kategori patologis tertentu. Reaksi-reaksi individu atas pengalamannya ketika terjadi bencana (misal: menangis karena kehilangan anggota keluarga atau sulit tidur karena tidur beramai-ramai di tenda pengungsian) diberi label sebagai trauma.

Padahal, reaksi-reaksi tersebut sebenarnya adalah reaksi normal manusia terhadap situasi abnormal. Medikalisasi pengalaman membuat reaksi wajar, seperti menangis karena kehilangan anggota keluarga dinilai sebagai kondisi sakit secara psikologis (baca: trauma) pascabencana.

Tujuan instrumental

Derek Summerfield dan juga Patrick Bracken dalam buku berjudul Trauma: Culture, Meaning and Philosophy (2002) menunjukkan bahwa kemunculan kategori biopsikomedis tertentu disebabkan oleh tujuan instrumental tertentu. Contohnya adalah gangguan stres pascatrauma atau PTSD. PTSD baru muncul pada tahun 1980 di dalam edisi ketiga Diagnostic and Statistic Manual (DSM-III) yang dirilis American Psychiatric Association.

PTSD diperkenalkan dalam DSM-III erat kaitannya dengan berakhirnya Perang Vietnam. Di AS, Perang Vietnam telah menimbulkan fenomena epidemik, yaitu banyaknya kasus gangguan mental berat dan bunuh diri pada para veteran.

Banyak veteran dan pendukungnya merasa frustrasi dengan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang dinilai tidak mampu mengatasi fenomena epidemik tersebut. Salah satu penyebabnya adalah tidak dimasukkannya trauma yang berkaitan dengan perang (war-related trauma) ke dalam diagnosis.

Situasi ini mendorong veteran, politisi, dan sejumlah psikiater berkampanye menuntut pelayanan kesehatan jiwa yang lebih baik bagi veteran, yang diawali dengan di-rekognisi-nya gejala-gejala PTSD. Jadi, singkatnya, kemunculan PTSD di DSM-III sejatinya bertujuan untuk memenuhi harapan masyarakat AS yang menginginkan penderitaan mental para veteran perang yang banyak masih berusia muda diakui. Oleh karena itu, menurut Allan Young (1995), kemunculan PTSD sebagai kategori klinis baru bukan semata agenda klinis, melainkan juga agenda politik domestik di AS.

Setelah PTSD diperkenalkan di AS, PTSD kemudian dipopulerkan di luar AS. Tepatnya di wilayah eks Yugoslavia pada tahun 1990-an. Menurut Vanessa Pupavac (2002), PTSD dan trauma discourse ”diekspor” ke wilayah eks Yugoslavia dan digunakan untuk menggambarkan populasi yang sakit akibat perang. Dengan adanya label sakit ini, simpati internasional mengalir.

Begitu juga dengan dorongan untuk menyembuhkannya. Alhasil, dana dari masyarakat internasional dikucurkan untuk penyembuhan trauma. Label trauma pada populasi, di satu sisi, memberikan justifikasi bagi organisasi donor untuk memberikan bantuan dan di sisi lain mendatangkan kucuran dana bagi lembaga yang mau mengerjakan proyek penyembuhan trauma.

Perlu diluruskan

Kita perlu meluruskan kecenderungan medikalisasi pengalaman dan obsesi berlebihan terhadap trauma pada pengungsi di NTB dan Sulteng. Pertama, harus ada introspeksi dari banyak pihak (pemerintah, sukarelawan, media, dan lain-lain). Apa manfaat dari pelabelan dan stigmatitasi trauma dan PTSD (yang baru bisa ditegakkan diagnosisnya setelah satu bulan menurut DSM-V) bagi pengungsi di NTB dan Sulteng? Apakah mematologikan populasi melalui pelabelan dan stigmatisasi trauma dan PTSD sejalan dengan gagasan membangun ketangguhan (resiliensi)? Apakah mematologikan populasi mengangkat atau justru melemahkan semangat untuk bangkit mereka yang terdampak bencana?

Kedua, perlu pendekatan yang menekankan pengungsi sebagai penyintas (survivor), bukan korban (victim) dalam penanganan aspek psikologis pascabencana. Sebagai penyintas, mereka memiliki keagensian (self-agency). Dan, yang diperlukan oleh mereka yang memiliki keagensian adalah pendampingan. Dalam pendampingan, yang utama dilakukan adalah mendengarkan, menemani, dan mendukung. Dalam pendampingan, kita tidak melakukan penyembuhan, tetapi memfasilitasi adaptasi dan perubahan positif.

Dicky Pelupessy Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Doktor dalam Bidang Psikologi Komunitas

Sumber:

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO /22 Oktober 2018