Penelitian menjelaskan bagaimana kejahatan dan pelanggaran dapat terjadi karena individu menghayati moral credential (mandat moral) yaitu memiliki hak untuk melakukan pelanggaran karena merasa memiliki tabungan moral dari kebaikan yang dilakukannya.
Pekerjaan yang dianggap mulia seperti Polisi/Dokter/Guru dipersepsikan sebagai kebaikan yang diperhitungkan dalam tabungan moral individu. Individu yang memiliki profesi ini memiliki perasaan sebagai orang yang bermoral tanpa melakukan tindakan kebaikan yang nyata (counter factual transgression) dan ketika individu menjalankan tugas pekerjaan yang mulia maka tabungannya bertambah kembali (multiple counter factual transgression). Kondisi surplus moral mendorong individu melakukan pelanggaran tanpa rasa bersalah dalam diri, serta tidak takut terlihat bersalah di mata orang lain.
Penelitian menggunakan metode mixed-methods tipe sequential mixed-design (Tashakkori & Teddlie, 2003). Fase pertama adalah kualitatif, dan fase kedua adalah penelitian kuantitatif yang terdiri dari 3 studi eskperimental di tingkat populasi. Partisipan diberi narasi ‘tugas mulia’ dan selanjutnya ditugaskan memberikan penghukuman yang tepat terhadap vignette pelanggaran menerima gratifikasi, serta memberi reaksi sosial terhadap pelanggaran mengebut. Keseluruhan penelitian melibatkan 893 partisipan.
Penelitian membuktikan bahwa partisipan yang diberi narasi bahwa pekerjaan Polisi/Dokter/Guru adalah pekerjaan yang mulia, akan bersedia memberikan penghukuman yang lebih ringan pada Polisi/Dokter/Guru yang melakukan pelanggaran. Keringanan penghukuman oleh pengamat dan kelompok diberikan jika pelanggaran terjadi pada domain yang berbeda (ngebut dengan dengan kondisi korban yang tidak terlihat/invisible victim), dan penghukuman menguat pada saat pelanggaran menimbulkan korban yang terlihat jelas (visible victim). Pada pelanggaran di domain yang sama (menerima gratifikasi dengan korban yang terlihat jelas) penghukuman oleh pengamat dan kelompok menguat, pelaku dihukum berat. Penelitian juga membuktikan bahwa pada pelanggaran dengan korban yang terlihat jelas, riwayat perbuatan baik pelaku yang memiliki pekerjaan mulia tidak akan diperhitungkan sebagai hal yang meringankan penghukuman oleh pengamat dan kelompok.
Temuan penelitian ini menjelaskan bahwa reaksi penghukuman terhadap pelaku pelanggaran akan menguat jika kerugian dan korbannya terlihat secara nyata, berimplikasi pada pencegahan korupsi. Gratifikasi harus ditekankan sebagai pelanggaran yang menimbulkan korban. Menurut Tella & Dubra (2008) terdapat hubungan antara punishment, belief and economic system. Karena itu kerugian akibat kejahatan, harus ditampilkan dalam bentuk perhitungan ekonomi yang membandingkan antara kerugian negara dari korupsi, dan manfaat serta kesejahteraan yang akan diterima oleh sejumlah orang jika dana tersebut digunakan untuk kepentingan pembangunan. Selama ini keputusan hakim pada kasus korupsi, menjadikan riwayat kebaikan tersangka sebagai pertimbangan yang meringankan penghukuman. Temuan penelitian ini yang membuktikan bahwa riwayat kebaikan pelaku memberikan izin moral bagi pelaku untuk melakukan pelanggaran, maka pada kejahatan korupsi riwayat kebaikan pelaku harus dimaknai sebagai sifat yang memberatkan penghukuman. Penelitian membuktikan bahwa kelompok berperan dalam memberikan reaksi penghukuman terhadap pelaku korupsi, maka diperlukan strategi pencegahan korupsi berbasis organisasi yang lebih luas dari sekedar menciptakan pencitraan bahwa organisasi profesi memiliki code of conduct dan organisasi yang bersih. Sosialisasi kode etik profesi dan pendidikan antikorupsi terhadap anggota profesi harus diberikan dalam bentuk mengenali peluang terjadinya korupsi pada profesi tersebut, serta dampak dan kerugian yang muncul jika korupsi terjadi di dalam kelompok/organisasi profesi.
Hasil penelitian tersebut dipaparkan oleh Ni Made Martini Puteri, dengan judul disertasi “Efek Moderasi Pemaknaan Berbuat Baik, Identifikasi Kelompok, dan Jenis Pekerjaan Terhadap Hubungan Antara Mandat Moral Kelompok dengan Penghukuman Tingkahlaku Gratifikasi”, di Ruang Auditorium Lt.4 Gd.H Fakultas Psikologi UI. Bertindak sebagai Ketua Sidang, yakni Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, M.A., Ketua tim penguji Prof. Dr. M. Mustofa, MA dengan anggota tim penguji Prof. Dr. Irwanto,Ph.D ; Dr. Zainal Abidin, M.Si ; Dr.Alice Salendu M.B.A.,M.Psi; Dianti Endang Kusumawardhani, M.Psi.,Ph.D; Prof. Dr. Hamdi Muluk (Promotor); Dr.Bagus Takwin, M.Hum (KoPromotor 1); Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si., Ph.D (KoPromotor 2). Ni Made Martini Puteri, atau yang biasa disapa dengan panggilan “Tinduk” , selain mengenyam pendidikan S3 di Fakultas Psikologi UI, beliau juga merupakan Dosen tetap di FISIP UI, serta saat ini juga menjabat sebagai Kepala Operasional pada Pusat Kajian Perlindungan dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) FISIP UI.
Setelah mempertahankan disertasinya, Tim Penguji memutuskan mengangkat Ni Made Martini Puteri sebagai Doktor ke-139 yang dihasilkan oleh Program Studi Ilmu Psikologi jenjang Doktor FPsi UI, dan merupakan Doktor ke-97 yang lulus setelah Program studi ilmu Psikologi jenjang Doktor dikembalikan ke Fakultas Psikologi UI, dengan predikat sangat memuaskan.