Doktor F.Psi UI Teliti Perilaku Agresif Guru: Peran Ekspresi Emosi Marah Siswa, Emosi Guru dan Pengalaman Kekerasan

Depok– Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menggelar sidang terbuka Promosi Doktor atas nama RA. Rangga Dewati Seri Beru Sakti Suryaningrat, secara online via zoom, Jum’at (6/08/2021).

Sidang Promosi Doktor ini diketuai oleh Dr .Tjut Rifameutia Umar Ali, M.A., Psikolog, dengan Promotor Prof. Dr. Frieda Mangunsong Siahaan, M.Ed., Psikolog, Kopromotor Dra. Corrina D.S. Riantoputra, M.Com., Ph.D., Psikolog, M.Si, Ketua Penguji dan Tim Penguji Dr. Zainal Abidin, M.Si (Ketua), Dra. Clara R.P. Ajisuksmo, MA., Ph.D., Psikolog, Dr. Wahyu Indianti, M.Si., Psikolog, Dra. Farida Kurniawati, M.Sp.Ed., Ph.D., Psikolog.

Disertasi yang diangkat oleh Promovendus “Perilaku Agresif Guru: Peran Ekspresi Emosi Marah Siswa, Emosi Guru dan Pengalaman Kekerasan”.

Pembahasan mengenai perilaku agresif yang dilakukan guru, biasanya akan dihindari karena dianggap sebagai hal yang sensitif. Meskipun demikian, penjelasan dan pemahaman yang tepat mengenai perilaku agresif guru adalah hal yang penting, karena hal itu bukan saja dapat melindungi siswa dari kekerasan, tetapi juga melindungi guru. Guru akan terhindar dari perilaku yang mengandung unsur agresivitas ketika menghadapi siswa yang bermasalah (misalnya: menghindari pemberian corporal punishment/hukuman fisik kepada siswa).

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan faktor situasi di sekolah (yaitu peristiwa ketika siswa menunjukkan ekspresi emosi marah kepada guru), emosi (marah dan cemas) guru, dan faktor predisposisi (yaitu pengalaman kekerasan di masa lalu yang dialami guru) dengan perilaku agresif reaktif/proaktif guru. Penelitian ini dilakukan dalam dua studi, dan menggunakan metode kuantitatif.

Hasil Studi 1 menunjukkan bahwa partisipan penelitian yang sering mengalami kekerasan di masa lalu cenderung lebih toleran terhadap perilaku agresif guru, dibandingkan dengan partisipan yang jarang mengalami kekerasan di masa lalu. Artinya, terdapat indikasi bahwa pengalaman kekerasan di masa lalu dapat berperan sebagai faktor predisposisi bagi perilaku agresif guru, karena penerimaan terhadap perilaku agresif guru dapat mengarah pada perilaku agresif guru yang nyata. Hasil Studi 2 menunjukkan bahwa peristiwa siswa menunjukkan ekspresi emosi marah kepada guru berhubungan dengan perilaku agresif reaktif guru, melalui emosi marah dan cemas guru. Ketika guru merasa marah karena peristiwa siswa menunjukkan ekspresi emosi marah, maka hal itu akan berhubungan dengan peningkatan perilaku agresif reaktif guru. Sebaliknya, ketika guru merasa cemas, maka hal itu hal itu berhubungan dengan penurunan perilaku agresif reaktif guru.

Di sisi lain, hubungan antara ekspresi emosi marah siswa, emosi guru dengan perilaku agresif proaktif guru tidak dapat dijelaskan dalam penelitian ini karena hipotesis yang ada, tidak terdukung. Meski demikian, penemuan penelitian ini memperlihatkan bahwa pengalaman kekerasan di masa lalu memiliki hubungan dengan peningkatan perilaku agresif reaktif dan proaktif guru.

Walaupun ada hipotesis yang tidak terdukung, hal ini tidak mengurangi kebermanfaatan penelitian ini. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan hubungan peristiwa di sekolah, yaitu peristiwa siswa menunjukkan ekspresi emosi marah, emosi (marah dan cemas) guru dengan perilaku agresif reaktif guru. Hasil ini memperlihatkan bahwa teori peristiwa afektif (affective events theory) dapat menjelaskan peran peristiwa di sekolah, terhadap emosi dan perilaku agresif reaktif guru. Selanjutnya, menggunakan teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan teori Pemrosesan Informasi Sosial (Social Information Processing), penelitian ini memperlihatkan bagaimana pengalaman kekerasan di masa lalu dapat memprediposisi perilaku agresif reaktif dan proaktif guru.

Implikasi praktis dari penelitian ini antara lain bahwa hasil penelitian disertasi ini  mengindikasikan kebutuhan untuk mensosialisasikan pemahaman tentang perilaku agresif guru dan penyediaan fasilitas konseling bagi guru untuk meminimalkan dampak pengalaman kekerasan yang dialami guru di masa lalu. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan adanya kebutuhan terkait pelatihan regulasi emosi guru. Meski sebagian guru telah memahami pentingnya kemampuan regulasi emosi, namun diharapkan guru benar-benar memahami perbedaan antara melakukan regulasi emosi dengan menyembunyikan perasaannya. Dengan demikian kesejahteraan psikologis guru akan tetap terjaga. Pelatihan tentang teknik coaching juga diperlukan bagi kepala sekolah, wakil kepala sekolah serta pengawas sekolah, agar para pemimpin tersebut dapat memaksimalkan peran sebagai support system bagi guru untuk mengembangkan strategi penanganan siswa tanpa kekerasan.