Psikologi Bermain: Pentingnya Bermain untuk Anak

Mengapa anak-anak begitu suka bermain? Mengapa mereka bisa menghabiskan berjam-jam dalam dunia imajinasi mereka, membangun istana dari bantal, atau berlari-lari tanpa henti di taman? Bagi sebagian orang tua, bermain mungkin dianggap kurang penting dibandingkan belajar formal. Lebih dari sekadar hiburan, bermain adalah fondasi penting bagi perkembangan optimal anak.

Untuk membahas lebih dalam mengenai peran krusial bermain dari sudut pandang psikologi, kita akan telusuri lebih lanjut bersama seorang ahli yang sudah mendedikasikan dirinya di bidang psikologi bermain. Efriyani Djuwita, S.Psi., M.Si., Psikolog yang akrab disapa Mba Ita. Mba Ita merupakan seorang Psikolog Klinis Anak dan Dosen Fakultas Psikologi UI. 

Minat Mba Ita pada psikologi bermain bermula dari pengalamannya di pendidikan profesi klinis anak. Ia menyadari bahwa bermain adalah media yang bisa membantu para psikolog untuk masuk ke dunia anak. Untuk memperkaya keahliannya, Mba Ita kini sedang menempuh studi S3 (PhD Candidate) di Learning, Education and Development, Faculty of Social Sciences, Radboud University-Belanda.

Hubungan Erat Psikologi dan Bermain

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari cara individu berpikir, merasakan, dan berperilaku. Dalam konteks ini, bermain dipandang sebagai aktivitas universal yang terjadi di semua budaya dan menjadi bagian penting dari perkembangan manusia dalam berpikir, merasakan dan juga berperilaku. Mba Ita menjelaskan, “Psikologi melihat bermain sebagai aktivitas fundamental karena melalui bermain anak belajar memahami lingkungannya, mengelola emosi, mengembangkan kemampuan berpikir, serta melatih keterampilan memecahkan masalah.”

Lebih jauh lagi, psikologi juga memandang bermain sebagai sarana yang membantu individu berfungsi secara adaptif. Berbagai pendekatan terapi seperti play therapy dan theraplay memanfaatkan aktivitas bermain, tidak hanya untuk anak-anak tetapi juga bagi orang dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa bermain bukan sekadar hiburan, tetapi jendela penting untuk memahami manusia sekaligus mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan psikologisnya

Apa Itu Psikologi Bermain?

Psikologi bermain adalah bidang yang mempelajari bagaimana aktivitas bermain berkontribusi pada perkembangan manusia, khususnya anak. Perkembangan ini mencakup aspek fisik, kognitif (kemampuan berpikir, belajar, dan memecahkan masalah), emosional (pengelolaan perasaan dan suasana hati), serta sosial (kemampuan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan).

Mba Ita menjelaskan, “Psikologi menelaah bermain dari sudut pandang ilmiah untuk memahami bagaimana aktivitas ini dapat dimanfaatkan oleh para praktisi psikologi dalam membantu individu berfungsi lebih optimal.” Sebagai contoh, untuk meningkatkan kemampuan atensi atau daya ingat anak, latihan berbasis tugas akademik yang kaku sering kali kurang efektif. Sebaliknya, karena sifatnya yang menyenangkan, kegiatan bermain yang dirancang khusus untuk mengasah kemampuan tersebut justru lebih menarik bagi anak dan dapat memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini menegaskan bahwa bermain bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana yang efektif untuk mendukung perkembangan sekaligus mengatasi berbagai tantangan psikologis.

Mengapa Anak Perlu Bermain? Fungsi Krusial dalam Perkembangan

Bagi anak-anak, bermain bukan sekadar pengisi waktu luang, melainkan hak asasi yang diakui dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak. Melalui bermain, anak belajar mengenal dunia di sekitarnya sekaligus mengembangkan berbagai aspek penting dalam dirinya.

Berbagai penelitian, baik di dalam maupun luar negeri, menunjukkan beragam manfaat bermain. Pertama, perkembangan fisik dan motorik: aktivitas seperti berlari, melompat, atau memanjat melatih koordinasi tubuh dan kekuatan motorik. Kedua, interaksi sosial dan empati: bermain bersama teman mengajarkan anak menunggu giliran, bekerja sama, serta memahami perasaan orang lain. Ketiga, kemampuan kognitif: kegiatan seperti bermain balok terbukti meningkatkan penalaran spasial, kreativitas, dan pemecahan masalah. “Saat anak menggunakan balok, ia menambah skema pengetahuan baru. Balok bisa menjadi dinding gedung yang ia bangun, atau di kesempatan lain bisa berubah menjadi mobil,” jelas Mba Ita. Selain itu, penelitian payung yang Mba Ita lakukan bersama mahasiswa S1 Psikologi pada tahun 2023 menemukan bahwa bermain pura-pura berhubungan dengan peningkatan working memory dan cognitive flexibility pada anak prasekolah. 

Bermain juga berperan penting dalam melatih kemampuan regulasi diri dan emosi. Misalnya, melalui permainan pura-pura menjadi ibu dan anak dengan boneka, anak belajar mengelola emosinya sekaligus memahami hubungan antara perilaku dan respons orang lain. “Anak dapat mencoba berbagai skenario, seperti menjadi anak yang menangis keras atau meminta sesuatu dengan baik-baik, sehingga ia memahami berbagai dampak dari setiap cara berperilaku,” tambah Mba Ita.

Tak hanya itu, bermain juga menjadi saluran bagi anak untuk mengekspresikan emosi negatif yang sulit diungkapkan secara langsung. Proses ini membantu mengurangi kecemasan dan membuat anak lebih tenang serta siap menghadapi lingkungannya.

Kategori Permainan

Permainan memiliki kategori yang ditentukan berdasarkan aspek kognitif dan sosial. Pada aspek kognitif terdapat empat kategori. Pertama, motoric play (functional play/ sensory motor play)—permainan yang melibatkan gerakan fisik besar, seperti berlari, melompat, atau bersepeda, gerakan motorik kasar dan halus serta permainan yang melibatkan kemampuan sensori. Kedua, constructive play (object play)—bermain membangun sesuatu, seperti menyusun balok lego atau membuat rumah-rumahan dari bantal. Constructive play dapat melatih penalaran, kreativitas dan pemecahan masalah anak. Ketiga, dramatic play (pretend/fantasy/imaginative play)—permainan peran yang sangat penting untuk belajar mengenai peran di lingkungan, interaksi sosial, dan mengembangkan imajinasi.Terakhir, formal games with rules— permainan yang memiliki aturan dan prosedur bermain. 

Pada aspek sosial terdapat social play, bermain yang melibatkan interaksi dengan orang lain. Social play terdiri dari parallel play, associative play, dan cooperative or organized supplementary play.  Parallel play—bermain di samping teman tanpa interaksi langsung. Associative play— bermain bersama-sama dan saling berinteraksi. Cooperative or organized supplementary play—bermain dalam kelompok saling bekerja sama. Dengan adanya perkembangan teknologi, ada juga kategori digital play yang melibatkan media digital, seperti video game atau aplikasi edukatif. 

Kategori permainan pada anak tidak hanya terpaku pada kategori-kategori yang sudah dijelaskan. Anak-anak dapat terlibat dalam berbagai jenis permainan pada usia yang berbeda, dan jenis permainan seringkali tumpang tindih. Seiring bertambahnya usia, anak cenderung beralih dari bentuk permainan non-sosial dan fungsional ke bentuk permainan yang lebih sosial dan kompleks secara kognitif.

Kesalahpahaman Seputar Bermain pada Anak

Ada beberapa kesalahpahaman umum tentang bermain yang perlu diluruskan. “Bermain itu kalah penting dengan belajar.” Mba Ita menegaskan, “Bermain itu adalah main business- nya anak-anak, aktivitas utamanya anak-anak di usia dini dan jika kegiatan ini hilang di masa itu, anak akan kehilangan banyak kesempatan untuk belajar dan berkembang.” Bermain adalah cara anak belajar.  Kemudian kesalahpahaman berikutnya, Bermain itu buang-buang waktu.” Sebaliknya, bermain yang terfasilitasi dengan baik dapat menjadi media pembelajaran yang sangat efektif dan menjadi momen yang baik bagi anak untuk menghabiskan waktu.

Dengan perkembangan teknologi saat ini, juga muncul kesalahpahaman, “Bermain video game itu selalu buruk.” Banyak penelitian menunjukkan bahwa video game yang dirancang dengan baik dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan emosi sosial, bahkan membantu anak mengatasi kecemasan. Selain itu, ada kesalahpahaman lain, “Bermain harus dengan alat permainan yang mahal atau berlabel ‘Educational Toy’.” Anak bisa bermain dan belajar banyak hal dari benda-benda di sekitar mereka. Yang terpenting adalah kesempatan, kreativitas dan kemampuan orang dewasa dalam memfasilitasi.

Dampak Kurangnya Waktu Bermain Berkualitas

Kurangnya kesempatan bermain yang berkualitas dapat berdampak negatif pada perkembangan anak. Mulai dari mudahnya anak merasa bosan, sulit untuk mengelola emosi atau membangun relasi dengan teman sebaya dan lingkungannya. Mba Ita menemukan di praktik klinisnya bahwa anak-anak dengan tuntutan akademis tinggi dan sedikit waktu bermain cenderung kesulitan mengontrol emosi. “Ada kebutuhan untuk mereka sebenarnya untuk bisa rileks, melepas emosi, yakni lewat kegiatan bermain,” katanya. Mba Ita juga menjelaskan bahwa kegiatan bermain sebenarnya juga merupakan sumber energi positif anak. Sehingga saat kegiatan ini kurang, maka anak bisa tampak tidak bergairah atau tidak bersemangat melakukan aktivitas kesehariannya.

Mba Ita juga menyoroti bahwa anak-anak yang terlalu banyak tuntutan akademis dan sedikit ruang untuk bermain cenderung sulit berkonsentrasi. Mereka mungkin “mencuri-curi” waktu bermain pada aktivitas yang seharusnya serius. Padahal saat kegiatan bermain itu diberikan secara proporsional maka anak bisa lebih siap dan atentif pada saat ia harus menghadapi kegiatan yang serius.

Gaya Pengasuhan dan Kualitas Bermain

Peran orang tua sangat krusial dalam memastikan anak memiliki pengalaman bermain yang berkualitas. Namun, gaya pengasuhan yang terlalu mengontrol atau protektif, seperti helicopter parenting, justru dapat menurunkan kualitas bermain anak. Orang tua dengan gaya ini cenderung bertindak sebagai “sutradara” yang mengatur semua aspek bermain—mulai dari cara bermain hingga mainan yang harus digunakan.

Padahal, dalam bermain, yang terpenting bukan hasil akhirnya, melainkan prosesnya. Bermain yang baik menekankan pada inisiatif anak, rasa ingin tahu, dan fleksibilitas. Jika orangtua terlalu banyak mengarahkan, bermain kehilangan keseruannya dan manfaat perkembangan yang bisa diperoleh pun berkurang. “Saat anak bermain, seharusnya inisiatif datang dari anak, mengikuti minat dan ketertarikannya. Orangtua tidak perlu membuat skenario kaku yang justru membatasi kreativitas anak,” jelas Mba Ita.

Bermain di Era Digital: Sisi Positif dan Negatif

Era digital telah mengubah pola bermain anak. Pergeseran pola bermain ke era digital membawa sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, banyak permainan digital yang edukatif dan dirancang untuk meningkatkan aspek perkembangan anak baik fisik, kognitif atau emosi. Beberapa exergames (video game olahraga) bahkan mengharuskan anak bergerak sehingga melatih aktivitas motorik atau fisik mereka sehingga bisa mengurangi keresahan orang tua bahwa bermain video game tidak akan membuat anak aktif secara fisik. Mba Ita juga menyoroti bagaimana video game dapat mendukung kesehatan mental dan interaksi sosial. Selama pandemi, banyak permainan online seperti Animal Crossing atau Among Us yang membantu anak-anak tetap berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman-teman atau guru mereka. 

Namun, sisi negatifnya, banyak permainan digital yang hanya mengandalkan gerakan jari atau mata sehingga kurang melatih aspek fisik secara keseluruhan. Penting bagi orang tua untuk memperhatikan keseimbangan antara bermain digital dan aktivitas fisik dan sosial lainnya, serta memastikan konten permainan sesuai usia dan tidak mengandung kekerasan sehingga kegiatan bermain digital ini tidak memberikan dampak buruk bagi anak.

Aktivitas Bermain yang Sehat dan Fungsional

Kegiatan bermain yang sehat dan fungsional dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama dari aspek kesesuaian dengan tahap perkembangan anak. Saat alat atau aktivitas bermain itu sesuai dengan usia, mengandung konten yang tidak membahayakan bagi anak maka ia bisa dikatakan cocok untuk anak. Kedua faktor durasi. Lama kegiatan bermain terutama bermain digital perlu mendapat pengawasan. Kegiatan bermain harus diberikan proporsi lebih banyak pada masa anak usia dini dan kemudian harus mulai menyeimbangkan dengan kegiatan belajarnya. Pada usia sekolah sampai remaja anak setidaknya anak perlu memiliki durasi 1 jam untuk bermain dalam sehari. Ketiga adalah aspek manfaat. Bermain yang sehat dan fungsional harus memberikan manfaat kepada anak. Manfaat ini bisa berupa emosi positif yang dirasakan anak, membuat anak lebih bersemangat sampai meningkatkan perkembangan fisik, kognitif dan sosialnya. “Saat aktivitas bermain memberikan dampak yang negatif dan kemudian mengganggu anak berfungsi dalam kehidupannya maka kegiatan bermain itu tidak lagi bisa dikatakan sehat atau bermanfaat bagi anak,” ungkap Mba Ita.

Peran Orang Tua dalam Dunia Bermain Anak

Orang tua perlu berperan dalam kegiatan bermain anak. Lewat keterlibatan orang dewasa, kegiatan bermain bisa menjadi sarana belajar anak yang sangat baik karena orang tua bisa memberikan bantuan agar anak bisa belajar pemecahan masalah, skill atau pengetahuan yang lebih baik lagi. Lewat keterlibatan orang tua dalam kegiatan bermain dengan anak, orang tua juga bisa membangun attachment atau kelekatan emosional dengan anak.

Agar kegiatan bermain menjadi kaya akan manfaat, ada beberapa peran yang bisa dilakukan orangtua saat menemani anak anaknya bermain. Orang tua bisa menjadi co-player. Saat menjadi co-player, orang tua bergabung bermain dengan anak namun inisiatif bermain tetap berasal dari anak. Orang tua ikut dalam skenario yang dibuat anak dan bisa memberikan ide atau bantuan untuk memperkaya kegiatan bermain. Kedua, adalah menjadi play leader. Peran ini bisa diambil orang tua pada saat anak menghadapi alat permain baru atau aktivitas bermain baru yang belum familiar baginya. Orang tua bisa menunjukan bagaimana cara bermain di awal, namun kemudian memberikan ruang eksplorasi sebesar besarnya bagi anak. “Artinya orang tua tetap memberikan kesempatan bagi anak untuk memutuskan cara bermainnya,” jelas Mba Ita. Ada kalanya orang tua juga perlu menempatkan diri hanya sebagai onlooker atau pengawas atau stage manager yang berperan menyediakan alat-alat yang dibutuhkan anak untuk bermain. “Karena ada saatnya anak ingin dan perlu bermain sendiri tanpa gangguan atau intervensi dari orang lain,” ujar Mba Ita. 

Adapun peran yang harus dihindari orang tua saat menemani anak bermain adalah menjadi director atau sutradara.. Orang tua yang mengambil peran ini digambarkan sebagai orang tua yang terus memberikan perintah dan mengatur bagaimana cara anak harus memainkan permainannya. “Peran ini harus dihindari karena akan mengurangi inisiatif anak dalam kegiatan bermain, membatasi kebebasan anak dan akhirnya kegiatan bermain ini tidak lagi menyenangkan buat anak,” jelas Mba Ita.

Orang Dewasa Juga Perlu Bermain!

Apakah orang dewasa masih perlu bermain? “Perlu dong!” tegas Mba Ita. Bermain bagi orang dewasa sama pentingnya seperti bagi anak-anak, karena dapat membantu melepaskan stres, menyegarkan pikiran, dan memberikan jeda dari rutinitas sehari-hari. Bentuk bermain pada orang dewasa bisa beragam, mulai dari video game, board game, bermain kartu, hingga aktivitas fisik atau olahraga seperti bowling, padel, sepak bola, atau tenis.

Selain itu, kegiatan rekreasi atau hobi seperti membaca buku, memasak, berkebun, atau merajut juga memiliki efek serupa dengan bermain, karena memberikan rasa senang dan pemulihan energi. Menurut Mba Ita, memiliki waktu untuk bermain, berekreasi, atau sekadar menikmati leisure time adalah hak setiap individu, bukan hanya untuk anak-anak

Harapan: Rawatlah Kebutuhan Bermain Anak Indonesia

Sebagai orang yang mendedikasikan dirinya di bidang psikologi bermain, Mba Ita menyampaikan harapan besar terhadap peningkatan kualitas bermain anak di Indonesia. Ia menekankan tiga poin utama. Pertama, penyediaan ruang bermain outdoor yang memadai. Ia berharap pemerintah lebih serius menyediakan ruang terbuka hijau yang ramah anak, karena bermain di luar ruangan memungkinkan anak melakukan aktivitas fisik sekaligus melatih keterampilan sosial melalui interaksi kelompok.

Kedua, dukungan dari institusi pendidikan. Menurutnya, sekolah perlu memberikan waktu yang cukup bagi anak untuk bermain, bukan hanya fokus pada tuntutan akademis. Bermain di sekolah harus dipandang sebagai bagian dari proses belajar, bukan sekadar jeda dari pelajaran.

Ketiga, edukasi bagi orang dewasa. Orang tua, guru, dan pendidik perlu memahami pentingnya bermain dan bagaimana mendukungnya. Ini mencakup menyediakan ruang dan kesempatan bermain, memfasilitasi alat permainan yang sesuai, serta memahami peran yang tepat saat terlibat dalam bermain bersama anak. Pengawasan yang bijak sangat penting agar bermain tetap aman, menyenangkan, dan bermanfaat.

“Saya berharap orang dewasa yang terlibat dalam dunia anak dapat benar-benar merawat kebutuhan bermain mereka dan memanfaatkan aktivitas ini sebagai sumber belajar yang menyenangkan,” tutup Mba Ita. Ia meyakini bahwa ketika sejak dini anak mencintai proses belajar melalui bermain, kecintaan itu akan terbawa hingga ke pengalaman belajar formal. Inilah fondasi penting untuk membentuk generasi Indonesia yang kreatif, tangguh, dan mampu berfungsi optimal di masa depan.