Menjadi orang tua memang tidak ada sekolahnya. Beberapa orang tua mungkin banyak membaca atau mengikuti seminar yang berhubungan dengan bagaimana cara mengasuh anak. Akan tetapi, beberapa orang tua lainnya mungkin menjalankan peran pengasuhan begitu saja. Bisa jadi dari berkaca pada pengalaman bagaimana mereka sebelumnya telah diasuh oleh orang tua. Adapula yang menjalankan pengasuhan secara trial and error, yang apabila satu strategi pengasuhan tidak berhasil, mereka akan mencoba strategi yang lain.
Keyakinan apakah dirinya mampu mengasuh anak dengan baik atau tidak dapat muncul, terlebih pada seseorang yang baru pertama kali menjadi orang tua, alias baru memiliki anak pertama. Hal itu dapat disebabkan oleh minimnya pengalaman dalam mengasuh anak. Oleh karena itu, berikut ini dipaparkan sepuluh prinsip pengasuhan yang penting diketahui oleh orang tua. Beberapa prinsip mungkin lebih cocok diterapkan untuk orang tua yang baru memiliki anak usia bayi dan balita. Akan tetapi, secara umum keseluruhan prinsip dapat diterapkan oleh orang tua dengan anak dari berbagai kelompok usia.
1. Libatkan anak pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan mereka
Tidak semua orang tua melibatkan anak pada kegiatan yang berhubungan dengan mereka, misalnya saja kegiatan mandi dan makan. Beberapa orang tua mungkin secara otomatis memandikan atau menyuapi anak usia bayi atau batita tanpa banyak mengajak mereka terlibat dalam kegiatan tersebut. Contohnya, anak yang disuapi sementara ia asyik bermain hal lain. Dalam situasi seperti itu, anak bisa jadi tidak sadar tentang kegiatan utama yang sedang ia lakukan, yaitu makan. Ia hanya tahu bahwa dirinya saat itu sedang bermain. Padahal di balik kegiatan makan, ada pengalaman yang bersifat edukasional yang akan anak dapatkan. Contohnya, anak dapat mengasah keterampilan koordinasi mata-tangan dengan memintanya untuk menyuap makanan sendiri, serta belajar tentang warna, tekstur, dan bentuk dari makanan yang dimakannya. Untuk anak-anak yang lebih besar pelibatan dapat dilakukan dalam menentukan jadwal belajar, keputusan jenis sekolah yang akan diikuti, serta aturan-aturan lainnya.
2. Sediakan waktu yang berkualitas
Waktu yang berkualitas tidak perlu lama. Tidak masalah apabila orang tua hanya memiliki waktu yang terbatas, misalnya 10-15 menit, asalkan orang tua dapat secara konsisten menyediakan waktu tersebut setiap harinya. Tentu jika waktu yang dimiliki lebih banyak akan lebih baik lagi. Selama kurun waktu tersebut, orang tua hendaknya dapat sepenuhnya hadir untuk anak, tanpa diganggu oleh urusan-urusan lain. Isilah waktu tersebut dengan kegiatan yang menyenangkan bersama anak, seperti berbagi cerita tentang kegiatan di hari itu atau bermain bersama. Untuk kegiatan bermain, usahakan pilih permainan yang melibatkan interaksi langsung antara orang tua dan anak, seperti bermain tebak-tebakan atau saling menirukan gerakan.
3. Pelajari cara unik masing-masing anak dalam berkomunikasi
Orang tua hendaknya cukup peka dengan cara-cara yang ditampilkan anak untuk menyampaikan maksud dan keinginannya. Sebagai contoh, anak bayi yang belum bisa bicara seringkali menyampaikan keinginannya dengan cara menangis. Beberapa anak akan menjadi rewel saat ia sudah mulai merasa bosan atau menampilkan ekspresi wajah tertentu untuk menggambarkan perasaannya. Untuk itu, penting bagi orang tua untuk peka dalam menilai tanda-tanda yang ditampilkan anak sehingga dapat menanggapi kebutuhan anak secara tepat pula. Pun untuk anak-anak yang sudah dapat menyampaikan keinginan atau perasaannya secara lisan, perlu bagi orang tua untuk menanggapinya secara bijak. Sebagai contoh, saat anak bercerita bahwa tidak ada satu teman pun yang mau bermain dengannya, simak dan terima dulu cerita anak. Jangan langsung memberikan nasihat atau menyalahkan anak. Hal-hal itu hanya dapat membuat anak enggan berkomunikasi dengan orang tua.
4. Sediakan waktu dan usaha untuk mengembangkan anak seutuhnya
Perkembangan anak berlangsung di berbagai aspek, baik fisik-motorik, kognitif, emosi, dan sosial. Penting bagi orang tua untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangan agar anak berkembang optimal melalui pemberian stimulasi. Dalam hal ini, stimulasi yang diberikan haruslah memperhatikan tahap perkembangan anak, waktu yang tepat untuk pemberian stimulasi, dan perbedaan individual. Sebagai contoh, pemberian stimulasi berupa pengenalan huruf sebaiknya diberikan saat anak sudah memahami konsep bentuk, yaitu sekitar usia 4 tahun. Stimulasi juga dapat diberikan melalui berbagai cara, seperti lewat nyanyian, untuk anak yang senang menyanyi, atau dengan membuat nugget huruf, untuk anak yang senang memasak.
5. Hargai anak
Terkadang orang tua melakukan tindakan terhadap anak tanpa permisi atau tanpa memberikan penjelasan kepada anak mengapa mereka melakukannya. Contohnya, saat orang tua menggantikan popok anak yang basah atau saat hendak memasukkan anak ke jenis sekolah tertentu. Padahal, seperti kita ingin dihargai, begitu pula dengan anak. Orang tua dapat mengatakan “Adek, mama mau ganti popok adek dulu ya. Popok adek basah”, sebelum mulai mengganti popoknya. Untuk anak yang lebih besar, sejumlah pengambilan keputusan terkait anak dapat dilakukan melalui diskusi dengan anak. Orang tua juga perlu menghargai ketidaksetujuan anak terhadap suatu hal dan mencari solusi yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
6. Jujur dengan perasaan kita sendiri
Adakalanya orang tua merasa begitu lelah, sementara anak terus menuntut orang tua untuk bisa bermain dengannya. Apabila terjadi hal seperti itu, orang tua perlu jujur kepada anak tentang apa yang dirasakannya. Daripada mengikuti keinginan anak untuk bermain dengan wajah kesal, lebih baik mengatakan “Kak, ibu masih capek karena baru pulang kerja. Ibu istirahat dan mandi dulu ya. Nanti pukul 5 kita baru main”. Saat orang tua merasa terganggu dengan perilaku anak, orang tua hendaknya juga dapat menyampaikan apa yang dirasakan dengan menggunakan teknik “Pesan-Saya” (I-message). Dalam teknik ini, orang tua perlu menyampaikan apa yang memunculkan perasaannya, penyebabnya, dan akibatnya. Sebagai contoh, ketika seorang anak remaja terlambat pulang dari sekolah, orang tua dapat mengatakan “Kak, ayah merasa khawatir karena sampai pukul delapan malam kamu belum pulang dan tidak memberi kabar. Ayah jadi tidak konsentrasi saat mengikuti meeting online tadi karena memikirkanmu”.
7. Beri model untuk tingkah laku yang ingin kita ajarkan
Bagaimana anak bisa mengembangkan berbagai perilaku baik, seperti perilaku berbagi, menghargai orang lain, dan bersikap sopan, salah satunya diperoleh lewat meniru tingkah laku orang lain, termasuk orang tua. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk selalu memberikan teladan kepada anak sejak anak berusia dini karena anak adalah peniru yang ulung. Perilaku model yang mendapat pujian juga akan menguatkan anak untuk meniru perilaku tersebut. Sebagai contoh, perilaku kakak yang membantu ibu membawa piring kotor ke tempat cucian dan mendapat pujian akan mendorong anak untuk melakukan hal serupa.
8. Jadikan masalah sebagai kesempatan untuk belajar dan biarkan anak berusaha untuk memecahkan masalahnya sendiri
Saat anak sedang menemui suatu masalah, biarkan anak berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut secara mandiri. Jangan langsung memberikan bantuan kepada anak, apalagi bantuan yang berupa jawaban terhadap permasalahan anak. Sebagai contoh, saat anak kesulitan menyelesaikan kepingan puzzle gajah, jangan langsung memberikan kepingan yang tepat untuk anak. Orang tua cukup memberikan petunjuk dengan mengatakan “Coba diingat-ingat, gajah itu punya apa saja? Kira-kira kepingan ini bagian apanya ya?”. Keberhasilan anak menyelesaikan permasalahan dengan hanya pemberian petunjuk dari orang tua akan memberikan perasaan kompeten pada anak dan membuatnya lebih percaya diri ketimbang memberikan solusi terhadap permasalahan anak. Anak juga perlu belajar menerima konsekuensi dari permasalahan yang dihadapinya. Sebagai contoh, saat anak tidak membawa buku PR-nya, orang tua tidak perlu mengantarkan buku tersebut ke sekolah. Biarkan anak menerima konsekuensi dari guru atas keteledorannya, karena hal ini akan membuat anak belajar untuk tidak mengulanginya kembali.
9. Bangun rasa aman dengan mengajarkan rasa percaya
Kepercayaan anak terhadap orang tua dibangun sejak anak lahir melalui sensitivitas, responsivitas, dan konsistensi orang tua dalam memenuhi kebutuhan anak. Sensitivitas menggambarkan kemampuan orang tua untuk memaknai secara akurat tanda-tanda yang ditampilkan anak terkait kebutuhannya. Orang tua yang sensitif selanjutnya akan dapat merespons kebutuhan anak dengan tepat. Apabila hal itu dilakukan secarta konsisten, anak akan melihat orang tua sebagai sosok yang dapat diandalkan dan dipercaya. Sebagai contoh, ibu yang memahami bayinya menangis karena lapar, akan merespons tangisan bayi dengan segera memberikan ASI. Selanjutnya, apabila hal tersebut dilakukan ibu secara konsisten di saat bayinya menangis karena lapar, akan timbul rasa percaya pada bayi terhadap ibu sebagai sosok yang dapat ia andalkan. Begitu pula sebaliknya.
10. Lebih memperhatikan kualitas perkembangan dalam setiap tahap
Ketika anak sudah menguasai suatu keterampilan tertentu di usianya saat ini, tidak jarang orang tua menuntut anak untuk bisa menguasai keterampilan tingkat lanjut, yang terkadang mungkin melebihi kemampuan anak untuk dapat menguasainya saat ini. Sebagai contoh, saat anak sudah bisa membilang angka dari 1-10 di usia 3 tahun, tidak jarang orang tua lanjut ingin mengajari anak penjumlahan, padahal di usia tersebut anak sebenarnya belum menguasai operasi hitung. Daripada memaksa anak untuk menguasai kemampuan yang belum waktunya, lebih baik mendukung kemampuan yang sudah bisa anak lakukan dengan memberikan pengalaman dan kesempatan lebih untuk mengembangkan kemampuannya. Kembali ke contoh di atas, daripada mengajarkan penjumlahan pada anak usia 3 tahun yang sudah bisa membilang angka dari 1-10, lebih baik mengembangkan kemampuan anak untuk mengenal konsep jumlah dengan meminta anak menghitung objek dalam jumlah tertentu, misalnya “Coba hitung ada berapa pensil di kotak ini” atau “Berapa jumlah ayam di dalam kandang?”. Anak juga bisa diajarkan konsep banyak dan sedikit dengan membandingkan jumlah objek yang berbeda.
Berbekal ke-10 prinsip pengasuhan di atas, diharapkan orang tua dapat memperoleh tambahan informasi mendasar terkait pengasuhan anak. Selanjutnya, orang tua juga dapat lebih optimal dan merasa lebih kompeten dalam perannya mengasuh anak. Happy parenting!
Referensi (daftar pustaka) Gonzales-Mena, J. & Eyer, D.W. (2021), Infants, Toddlers, and Caregivers: A Curriculum of Respectful, Responsive, Relationship Based Care and Education. McGraw Hill
Penulis: Rini Hildayani, S.Psi., M.Si., Psikolog