Pernahkan kita membayangkan, bagaimana keputusan di meja hijau dapat seadil-adilnya jika kita tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi dibalik perilaku individu yang terlibat dalam kasus hukum? Di tengah kompleksitas kasus hukum, kehadiran sebuah bidang ilmu yang mendalam tentang manusia menjadi sangat dibutuhkan. Inilah psikologi forensik, sebuah disiplin ilmu yang bersinergi dengan ranah hukum dan peradilan. Untuk menyelami lebih dalam mengenai psikologi forensik, mari kita kupas tuntas bersama seorang pakar yang telah mendedikasikan dirinya dalam bidang ini. Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw, M.Psi., M.Sc., Ph.D., Psikolog yang akrab di sapa Mas Nael. Mas Nael merupakan Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR) periode 2023-2027 dan juga Dosen Fakultas Psikologi UI.
Dari Reformasi Menuju Psikologi Forensik: Sebuah Panggilan Keadilan
Mas Nael mengungkapkan bahwa minatnya terhadap psikologi forensik berakar dari pengalaman pribadinya di era reformasi. “Saya hidup di era reformasi,” ujarnya, menjelaskan bagaimana keterpaparan langsung pada isu-isu sosial, demonstrasi, kerusuhan, dan konflik pasca-reformasi menumbuhkan kepekaan terhadap isu keadilan. Pengalamannya sebagai relawan di Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI, bertugas di daerah pasca-konflik, serta terlibat dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat, semakin memperkuat panggilannya.
Ia melihat bagaimana upaya mengungkapkan kebenaran dan menegakkan hukum membutuhkan pemahaman mendalam tentang manusia. Kesempatan menjadi asisten dosen yang menangani kasus-kasus rujukan dari kepolisian, termasuk kasus terorisme, mempertebal keyakinannya bahwa “pelaku yang digambarkan sadis pun pasti memiliki sesuatu yang meskipun kecil, sebagai faktor protektif.” Inilah yang memicu ketertarikannya untuk terus mendalami dan menerapkan ilmu psikologi dalam konteks hukum.
Psikologi dan Forensik: Memahami Kompleksitas Manusia dalam Hukum
Secara sederhana, forensik berasal dari kata ‘forum’, yang berarti arena publik tempat orang-orang mencari kebenaran dan kebijakan diputuskan. Dalam konteks ini, psikologi forensik adalah ilmu yang membahas “hal-hal di forum”, membantu Aparat Penegak Hukum (APH) seperti polisi, jaksa, dan hakim untuk memahami peristiwa yang terjadi di masa lalu secara ilmiah.
Mas Nael menjelaskan bahwa psikologi forensik adalah suatu pendekatan ilmiah untuk memahami suatu peristiwa atau membantu usaha kita dalam mendapatkan kebenaran. Kebenaran dalam peristiwa hukum, terutama kejahatan yang terjadi di masa lalu, seringkali tidak bisa diketahui secara langsung oleh APH. Psikologi forensik berfungsi sebagai tools atau kendaraan untuk mendekati kebenaran tersebut. Mengapa? Karena implikasi dari keputusan hukum sangat besar—seseorang bisa dinyatakan bersalah dan dipenjara, atau justru tidak bersalah.
Selain itu, psikologi forensik juga berperan dalam memahami motif di balik tindakan kejahatan, yang dapat menjadi masukan penting untuk strategi pencegahan di masa depan. Ini juga membantu APH menghindari bias dalam menangani kasus, seperti anggapan keliru bahwa korban kekerasan seksual mungkin “menghendaki” kekerasan. “APH itu kan melakukan tugasnya melalui interaksi, melalui pertemuan sehingga aspek psikologis manusia sangat relevan,” ujarnya.
Hubungan antara Psikologi dan Forensik
Psikologi dan forensik memiliki hubungan yang erat. Psikologi, sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia menjadi sangat relevan dalam konteks hukum karena setiap kasus melibatkan manusia dengan kompleksitas pikiran, emosi, dan perilakunya. Psikologi membantu memahami motif kejahatan, keadaan psikologis pelaku, dampak psikologis pada korban, dan kredibilitas saksi.
Mas Nael menjelaskan, “Forensik itu kan ilmu yang membahas hal-hal di forum. Di forum itu ada orang-orang yang dianggap sebagai pengambil kebijakan. Nah, mereka juga perlu dukungan dari bukti-bukti yang mendukung”. Psikologi hadir untuk menyediakan bukti-bukti non-fisik yang relevan, terutama berkaitan dengan proses mental dan perilaku manusia.
Apa Itu Psikologi Forensik?
Lebih lanjut, psikologi forensik dapat diartikan sebagai penerapan prinsip, teori, dan metode psikologi dalam sistem peradilan pidana dan perdata. Tujuannya adalah membantu penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam memahami aspek psikologis dari suatu kasus. Ini bukan hanya tentang menangkap pelaku, tetapi juga tentang pengungkapan kebenaran, kepastian keadilan, dan penyusunan strategi pencegahan kejahatan.
Peran Psikologi Forensik dalam Sistem Hukum
Ilmu psikologi memiliki peran yang sangat luas dalam sistem hukum di Indonesia, lebih dari sekadar proses investigasi kasus. Psikologi forensik berkontribusi signifikan dalam pencegahan kejahatan dengan merancang program yang memahami perilaku manusia. Dalam penanganan kasus, psikolog forensik terlibat dari tahap awal pengumpulan data di kepolisian hingga pemberian keterangan ahli di pengadilan. Seiring dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2026 yang mengedepankan restorative justice, peran psikologi forensik akan semakin penting dalam rehabilitasi dan restorasi, baik untuk pemulihan hubungan pelaku-korban, rehabilitasi narapidana agar tidak terjadi residivisme (mengulangi kejahatan), maupun pemulihan korban.
Selain itu, psikologi juga berperan penting dalam peningkatan kapasitas penegak hukum dengan memberikan pelatihan bagi hakim, jaksa, dan polisi untuk memperkaya pemahaman mereka tentang aspek psikologis dalam penanganan kasus, seperti perspektif perempuan dalam hukum. Terakhir, psikologi kepolisian kini juga fokus pada asesmen Sumber Daya Manusia (SDM) di kepolisian, memastikan kesiapan mental dan profesionalisme APH.
Psikologi Forensik: Antara Penelitian dan Praktik Lapangan
Penelitian dalam psikologi forensik, baik dari luar maupun dalam negeri, memberikan panduan penting bagi praktik di lapangan. Mas Nael memberikan beberapa contoh menarik:
- Deteksi Kebohongan
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan kepada psikolog forensik adalah “bagaimana cara saya mendeteksi seseorang bohong atau tidak?” Mas Nael menjelaskan bahwa alat seperti poligraf (lie detector) tidak akurat. Poligraf hanya mengukur reaksi fisiologis (misalnya detak jantung, keringat) yang bisa muncul karena kecemasan, bukan hanya karena kebohongan.
Pendekatan yang lebih disarankan adalah melalui penilaian kredibilitas (credibility assessment) berbasis verbal. Ini melibatkan analisis rinci terhadap narasi seseorang. Orang yang berbohong cenderung memberikan sedikit detail atau detail yang tidak bisa diverifikasi. Sebaliknya, orang yang jujur akan memberikan lebih banyak detail yang konsisten dan dapat dipercaya kebenerannya.
- Mengatasi Distorsi Ingatan: Pentingnya Protokol Wawancara
Dalam kasus kekerasan seksual, ada penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan boneka dengan penonjolan bagian tubuh tertentu justru dapat meningkatkan distorsi atau ‘error’ dalam keterangan korban anak. Ini karena boneka tersebut bisa bersifat sugestif, mendorong anak untuk mengasosiasikan pengalaman mereka dengan bentuk boneka.
Untuk itu, psikologi forensik merekomendasikan penggunaan protokol wawancara yang teruji secara ilmiah, seperti Protokol NICHD (National Institute of Child Health and Human Development). Protokol ini dirancang untuk meminimalkan sugesti dan memaksimalkan perolehan informasi yang akurat dari anak-anak korban atau saksi.
Riset yang sedang dilakukan: Dampak Psikologis Hukuman Mati
Mas Nael juga sedang terlibat dalam riset mengenai dampak psikologis orang yang menjalani hukuman mati terhadap kegiatannya di lembaga pemasyarakatan. Penelitian ini melibatkan kolaborasi dengan kriminolog. Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana hukuman ekstrem tersebut memengaruhi individu dan apakah ada potensi untuk perubahan atau penurunan hukuman (misalnya dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup) berdasarkan kondisi psikologis. Ini sejalan dengan pergeseran paradigma hukum menuju rehabilitasi.
Isu-isu dalam Psikologi Forensik
Criminal Competence
Criminal Competence mengacu pada kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Ini adalah penilaian psikologis untuk menentukan apakah seseorang, pada saat melakukan tindak pidana, memiliki kapasitas mental yang cukup untuk memahami sifat dan konsekuensi dari perbuatannya, serta apakah ia mampu membedakan benar dan salah.
Mas Nael memberikan contoh kasus seorang ibu yang membunuh bayinya karena mengalami halusinasi dan waham (keyakinan keliru yang tidak dapat digoyahkan). “Artinya ibu ini ada halusinasi, ada waham, ada ide-ide yang aneh, kemudian dia meyakini bahwa apa yang dia lakukan itu adalah untuk meringankan anaknya,” jelasnya. Dalam kasus seperti ini, jika ditemukan indikasi patologi psikologis yang kuat dan terasosiasi dengan perbuatannya, putusan pengadilan mungkin bukan pemenjaraan, melainkan rehabilitasi di rumah sakit jiwa karena yang bersangkutan dianggap tidak memiliki Criminal Competence penuh.
False Memory
False Memory adalah kondisi seseorang memiliki ingatan yang diyakini benar-benar terjadi tentang suatu peristiwa yang sebenarnya tidak pernah terjadi atau terjadi namun berbeda dari apa yang ia ingat. Ini bukan berarti seseorang sengaja berbohong, melainkan ia benar-benar meyakini ingatan tersebut sebagai kebenaran.
“Seseorang mengaitkan dengan sesuatu atau pengalaman yang kurang lebih serupa atau dengar yang kemudian dianggap seolah-olah pernah dialami.” Ujar Mas Nael menjelaskan mengapa False Memory bisa terjadi. Menghindari pertanyaan sugestif dan menerapkan teknik wawancara berbasis bukti adalah kunci untuk mencegah terjadinya False Memory.
False Confession
False Confession terjadi ketika seseorang mengakui kejahatan yang tidak ia lakukan. Hal ini bisa berdampak fatal pada proses hukum dan menyebabkan orang yang tidak bersalah dihukum. Tekanan saat interogasi atau adanya keinginan untuk mengakhiri interogasi menjadi contoh penyebab dari terjadinya False Confession.
Psikologi forensik berperan penting dalam mencegah false confession dengan mendorong perubahan dari pendekatan interogatif yang konfrontatif menjadi wawancara investigatif yang non-konfrontatif. Pendekatan ini berfokus pada membangun rapport (hubungan baik), mengajukan pertanyaan yang efektif, dan mengumpulkan informasi secara sistematis, tanpa tekanan atau paksaan.
Perkembangan Psikologi Forensik di Indonesia
Perkembangan psikologi forensik di Indonesia menunjukkan tren positif. Meskipun pendidikan formal di bidang ini masih belum ada, Mas Nael optimis melihat bukti nyata kemajuannya yang didukung oleh berbagai faktor. Pengakuan resmi terhadap disiplin ilmu ini tercermin dari mulai disinggungnya peran psikologi forensik dalam berbagai undang-undang. Minat dan kebutuhan akan bidang ini juga sangat tinggi, dibuktikan dengan adanya APSIFOR yang memiliki ribuan anggota tersebar di seluruh wilayah. Di tingkat lembaga negara, kehadiran psikolog forensik semakin menguat dengan munculnya posisi atau fungsi khusus di berbagai kementerian dan lembaga. Peningkatan ini juga terlihat dari keterlibatan psikolog forensik yang lebih sering dalam penanganan kasus-kasus besar di Indonesia.
Berkarier di Bidang Psikologi Forensik Indonesia
Mas Nael menjelaskan bahwa pendidikan formal di bidang ini masih belum ada. Namun terdapat jalur yang dapat ditempuh seseorang untuk bisa mendedikasikan dirinya di bidang psikologi forensik di Indonesia. Jalur yang direkomendasikan saat ini dimulai dengan menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) Psikologi dilanjutkan dengan Pendidikan Profesi Psikolog Umum. Selain pendidikan formal, penting juga untuk memperbanyak paparan melalui magang atau bekerja di lembaga terkait seperti lembaga pemasyarakatan, Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA), atau kepolisian. Keterlibatan aktif dalam organisasi profesi, khususnya APSIFOR juga sangat dianjurkan untuk mendapatkan bimbingan dan kesempatan belajar. Memperdalam minat di bidang ini juga dapat dilakukan dengan mempelajari model intervensi, kepribadian pelaku, serta riset-riset yang relevan dengan konteks hukum. Terdapat pula skema sertifikasi yang didaftarkan di Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), seperti skema pendamping korban yang bisa menjadi jalur spesialisasi.
Harapan terhadap Psikologi Forensik di Indonesia
Mas Nael memandang bahwa kemajuan bangsa dan peradaban salah satunya diukur dari sistem penegakan hukumnya. “Saya melihat ke depan kita akan jauh lebih baik. Saya optimis bahwa penegakan keadilan akan semakin profesional, objektif, independen, dan mengutamakan prinsip-prinsip ilmiah, tidak lagi memakai praktik-praktik korup. Keterlibatan ilmu-ilmu non-hukum dalam kasus penegakan hukum, misalnya ilmu psikologi mulai dilibatkan. Hal ini menjadi momentum positif yang perlu terus dijaga” ungkapnya.