Peran penting dari kemampuan regulasi emosi dalam kehidupan anak muda juga telah didukung oleh begitu banyak riset ilmiah di bidang Psikologi. Bila kemampuan regulasi emosi mereka buruk, mereka memang cenderung impulsif, mudah stres, atau bahkan terjebak dalam pola pikir negatif yang terus-menerus berputar di kepalanya.
Bila mereka memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik, pola pikir negatif yang berputar ini dapat dikendalikan dan mereka masih bisa membangun sikap positif yang justru penting dan mendukung pemecahan masalah. Kemampuan regulasi emosi yang buruk juga bisa menyulitkan mereka membangun relasi sosial yang sehat. Hal ini masuk di akal karena bila mereka membiarkan emosi negatif menguasai pikiran, lama-lama mereka sulit menjaga komunikasi yang positif dan saling membangun.
Pada akhirnya mereka akan mengalami kesepian yang justru memperkuat pikiran dan perasaan negatif dalam dirinya. Dalam situasi konflik dengan teman atau keluarga, misalnya, mereka perlu mengelola emosi negatif agar tetap tenang dan mampu berkomunikasi secara asertif. Semua hal ini menunjukkan bahwa regulasi emosi yang baik perlu dilatih di kalangan anak muda agar mereka tetap sehat mental.
Apa yang perlu dihindari dalam regulasi emosi?
Dalam banyak penelitian Psikologi, anak muda juga cenderung melakukan regulasi emosi dengan cara-cara yang buruk. Sering kali, mereka mencoba mengatasi emosi negatif yang muncul dengan memendamnya terlalu lama atau malah melampiaskannya secara impulsif (tidak terkontrol). Nah, kedua hal ini perlu dihindari karena justru memperburuk situasi dan menimbulkan masalah baru. Regulasi emosi yang baik berarti menemukan keseimbangan antara mengendalikan emosi dan mengekspresikannya secara sehat.
1. Cara Melatih Regulasi Emosi yang Baik
Ada beberapa langkah sederhana namun efektif untuk melatih regulasi emosi yang baik:
1) Identifikasi dan Namai Emosi
Saat merasa kewalahan, coba tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang sebenarnya saya rasakan?” Memberi nama pada emosi seperti marah, kecewa, atau takut dapat membantu kita memahami apa yang sedang terjadi. Tanpa mengidentifikasi atau mengenali emosi yang kita rasakan, kita akan sulit untuk melakukan regulasi emosi yang baik.
2) Latihan Mindfulness atau Meditasi
Mindfulness membantu kita menjadi lebih sadar akan emosi yang muncul tanpa langsung bereaksi terhadapnya. Ini memberikan waktu untuk merenung sebelum bertindak. Anda dapat meluangkan waktu 10 – 20 menit setiap pagi dan malam untuk meditasi. Cara melakukan meditasi yang sederhana adalah dengan duduk dengan punggung tegak dan mulai mengambil nafas serta membuang nafas perlahan. Pada saat yang sama, cobalah memfokuskan pikiran pada ritme pernafasan. Biarkan semua pikiran lain yang muncul sekedar lewat, dan tetaplah fokus pada ritme pernafasan anda. Hal ini akan membantu anda tenang dan berpikir jernih saat memulai kerja maupun saat beristirahat.
3) Teknik Pernapasan
Ketika merasa cemas atau marah, tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan. Teknik ini membantu menenangkan sistem saraf dan mengurangi intensitas emosi.
4) Ekspresikan Emosi Secara Sehat
Alih-alih memendam emosi, cari cara yang sehat untuk mengekspresikannya, seperti menulis jurnal, berbicara dengan teman terpercaya, atau berkonsultasi dengan seorang profesional.
5) Cari Dukungan Sosial
Jangan ragu untuk berbagi perasaan dengan orang-orang terdekat. Dukungan dari keluarga dan teman dapat membantu kita merasa lebih baik dan mendapatkan perspektif baru.
2. Penutup
Belajar meregulasi emosi adalah perjalanan yang membutuhkan waktu dan latihan. Namun, banyak penelitian psikologi yang menunjukkan kalau hasilnya sepadan. Dengan regulasi emosi yang baik, anak muda dapat menghadapi tantangan hidup dengan lebih percaya diri dan menjaga kesehatan mental mereka di tengah tekanan kehidupan modern.
Jadi, mulailah kamu melatih regulasi emosi hari ini. Mulai dari langkah kecil, seperti mengenali emosi yang muncul atau mencoba teknik pernapasan sederhana. Ingatlah bahwa menjaga kesehatan mental adalah investasi terbaik untuk masa depan yang lebih bahagia dan bermakna.
Ditulis oleh:
Agnes Nauli Shirley W. Sianipar, S.Psi, M.Sc., Ph.D.