JAKARTA – Tes psikologis semakin banyak digunakan dalam berbagai aspek, mulai dari pendidikan, pekerjaan dan klinis. Dalam bidang pendidikan, tes psikologis biasa digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan siswa dan memfasilitasi proses pembelajaran agar lebih efektif.
Misalnya, pemberian tes psikologis ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kemampuan intelegensi siswa, mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar, memberikan saran untuk minat dan penjurusan siswa, dan mengidentifikasi masalah kognitif, emosional, atau sosial siswa sehingga proses belajar di kelas dapat lebih lancar.
Dalam bidang pekerjaan, tes psikologis banyak digunakan untuk menentukan sejauh mana individu memiliki kemampuan, sikap kerja, dan kepribadian yang sesuai dengan tuntutan kerjanya. Hal ini misalnya digunakan dalam proses rekrutmen dan seleksi karyawan, evaluasi kinerja karyawan, pengembangan karir dan promosi karyawan, serta memberikan konseling untuk membantu karyawan menyelesaikan masalah dan konflik yang terjadi di tempat kerja.
Dalam bidang klinis, tes psikologis umumnya digunakan untuk mendiagnosis dan menangani gangguan mental, emosional, dan perilaku yang dialami individu. Tes psikologis digunakan misalnya ketika individu mengalami masalah psikologis tertentu, dimana tes psikologis dijadikan sebagai alat bantu psikolog untuk mendiagnosis gangguan psikologis individu dan membuat rancangan konseling/terapi yang tepat untuk membantu individu menangani masalahnya.
Akan tetapi, penggunaan tes psikologis di berbagai bidang tersebut seringkali memunculkan sejumlah isu dan permasalahan. Misalnya, dalam bidang pendidikan ada siswa yang merasa saran penjurusan yang diberikan dari tes minat dan bakat yang diikuti kurang sesuai dengan dirinya karena memberikan informasi yang tidak akurat terhadap kemampuan dan minatnya.
Contoh lain juga dapat dilihat di bidang pekerjaan, ketika seorang supervisor mengeluhkan karyawan baru yang diterima kualitas kerjanya kurang sesuai dengan standar kerja yang berlaku. Di bidang klinis, hal yang serupa misalnya ditemukan ketika seseorang yang didiagnosis memiliki gangguan kecemasan merasa diagnosis tersebut kurang sesuai dengan permasalahan yang ia alami.
Dengan demikian, semua permasalahan di atas memunculkan pertanyaan: Apakah semua tes memiliki kualitas yang sama? Sejauh mana tes psikologis yang diberikan akurat dan dapat dipercaya hasilnya? Untuk itu kita perlu mengenali tes psikologis dengan lebih baik agar bisa secara bijaksana dan lebih kritis ketika akan diberikan tes psikologis.
Sebelum membahas kualitas dari tes psikologis, tentu kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tes psikologis beserta jenisnya. Tes psikologis (psychological test) adalah sebuah alat atau prosedur yang digunakan untuk mengukur aspek psikologis seseorang secara objektif dan terstandar.
Aspek psikologis ini biasanya berbentuk tingkah laku yang terobservasi dalam bentuk kemampuan kognitif, seperti kecerdasan dan bakat, atau berupa aspek kepribadian, seperti sikap ataupun minat, maupun aspek kecepatan dan ketelitian dalam bekerja. Masyarakat mungkin familiar dengan tes IQ yang mengukur tingkat kecerdasan seseorang berdasarkan standar tentu maupun Tes Potensi Akademik (TPA) yang biasa digunakan dalam seleksi pekerjaan/pendidikan untuk mengukur bakat atau potensi seseorang.
Masyarakat yang pernah mengikuti seleksi pekerjaan juga mungkin familiar dengan Tes Kraepelin atau Pauli yang biasa digunakan untuk mengukur kecepatan dan ketelitian kerja. Tak hanya itu, ada juga tes MBTI yang biasa digunakan untuk mengetahui karakteristik kepribadian seseorang. Tes-tes tersebut hanya sebagian kecil contoh dari banyaknya tes psikologis yang bisa kita temukan sehari-hari.
Meskipun saat ini telah banyak tes psikologis yang beredar di sekitar kita, namun tidak semua tes psikologis tersebut memiliki kualitas yang sama. Masyarakat mungkin pernah menemukan tes psikologis yang bisa memberikan hasil yang sangat akurat, tetapi terkadang ada juga tes psikologis yang menanyakan hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan dari tes.
Untuk mengetahui sejauh mana kualitas dari sebuah tes psikologis, terdapat sejumlah kriteria yang harus dipenuhi, yakni reliabel, valid, terstandar, dan memiliki norma.
Reliabel merujuk pada kekonsistenan hasil dari pengetesan. Tes psikologis yang berkualitas sepatutnya memberikan hasil yang stabil jika dilakukan pengukuran berulang pada berbagai kondisi. Kondisi tersebut dapat berupa pengukuran berulang dalam waktu yang berbeda, melibatkan asesor yang berbeda, ataupun menggunakan tes yang serupa. Bayangkan jika masyarakat mengikuti suatu tes psikologis lalu hasilnya berbeda setiap kali Anda melakukan tes atau bayangkanlah kondisi di mana mengikuti dua tes yang mengukur aspek kepribadian introvert/extrovert, tetapi tes yang pertama memberikan informasi bahwa Anda merupakan orang yang extrovert, sementara tes kedua menyebutkan bahwa Anda adalah orang yang introvert.
Hal-hal ini tentu membuat Anda bertanya-tanya hasil manakah yang paling tepat? Apakah hasil tes bisa dipercaya? Adanya reliabilitas dalam suatu tes menjamin bahwa informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran dapat diandalkan dan dipercaya.
Tak hanya konsisten, tes psikologis yang berkualitas juga harus valid. Berbeda dengan reliabilitas yang berfokus pada kekonsistenan hasil pengukuran, validitas berfokus pada keakuratan dari hasil pengetesan. Bayangkan jika saat Anda mengerjakan tes kepribadian introvert/extrovert seperti contoh di atas, lalu hasil pengetesan menunjukkan bahwa masyarakat adalah orang yang extrovert. Padahal, selama ini Anda merasa sebagai pribadi yang introvert dan teman-teman Anda pun melihat Anda sebagai orang yang cenderung introvert.
Perbedaan hasil ini tentu menjadi sebuah pertanyaan tersendiri mengenai sejauh mana interpretasi dari hasil tes akurat menggambarkan individu yang dinilai. Selain terkait keakuratan interpretasi, validitas juga mencakup sejauh mana tes tampil relevan dalam menilai aspek psikologis yang dikehendaki.
Contohnya, suatu tes introvert/extrovert sepantasnya menanyakan terkait kecenderungan seseorang untuk memperoleh stimulasi dan energi dari interaksi sosial, bukan menanyakan terkait persoalan matematika. Adanya validitas menjamin ketepatan dan keakuratan interpretasi yang dihasilkan dari sebuah tes sebagaimana yang dikehendaki dari tujuan awal tes.
Adapun kriteria ketiga dari sebuah tes psikologis yang berkualitas adalah standarisasi dalam setiap prosedur pengukuran. Tes psikologis sepatutnya memiliki standar yang baku dalam hal pengadministrasian tes, penskoran tes, maupun interpretasi tes. Artinya, dari saat tes tersebut diberikan pada seseorang, kemudian data pengetesan dievaluasi, hingga kemudian hasilnya diinterpretasi terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sehingga tidak ada seseorang pun yang diuntungkan maupun dirugikan karena adanya perbedaan kondisi pengetesan.
Bayangkan jika masyarakat dan temannya mengikuti sebuah tes psikologis di mana mengerjakan tes tersebut di sebuah kafe, sementara temannya mengikuti tes dalam ruangan yang tenang. Masyarakat mungkin akan merasa dirugikan karena kebisingan di kafe berpotensi menurunkan konsentrasi dalam mengerjakan tes.
Dengan adanya standarisasi dalam pengetesan, dapat diperoleh keseragaman dalam prosedur pengetesan sehingga menjamin objektivitas tes.
Terakhir, sebuah tes psikologis yang berkualitas juga sepatutnya memiliki norma.
Dalam konteks asesmen psikologis, norma merupakan sebuah standar yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil tes. Standar ini digunakan untuk memberikan evaluasi mengenai posisi individu dalam masyarakat umum. Misalnya, jika seseorang memperoleh skor 80 dalam sebuah tes kemampuan berhitung, apakah orang tersebut dapat disimpulkan memiliki kemampuan berhitung di atas rata-rata dalam masyarakat?
Untuk bisa menempatkan seseorang dalam sebuah kategori tinggi, sedang, rendah, dan sebagainya diperlukan sebuah norma.
Melalui norma ini kemudian bisa dikembangkan tindak lanjut dari proses pengetesan, seperti intervensi untuk peserta yang berperforma rendah maupun apresiasi bagi peserta yang berperforma tinggi. Tak hanya itu, adanya norma juga memberikan informasi mengenai sejauh mana hasil tes dapat digeneralisasikan.
Misalnya, jika pada sebuah tes berhitung, skor 70 sudah dianggap sebagai skor yang tinggi untuk peserta tes anak sekolah dasar, apakah hal yang sama berlaku pada peserta dengan karakteristik lain, seperti anak SMA? Pada anak SMA mungkin diperlukan skor lebih tinggi, misal 85, untuk bisa menempatkan mereka pada kriteria kemampuan berhitung tinggi. Dengan adanya norma dalam tes psikologis, pengambilan kesimpulan menjadi lebih bermakna.
Melalui pemaparan terkait di atas, diketahui bahwa setidaknya terdapat empat kriteria untuk menentukan kualitas tes psikologis, yaitu reliabilitas, validitas, standardisasi, dan norma. Semua kriteria ini berperan dalam menentukan apakah sebuah tes psikologis dapat konsisten, dapat dipercaya, akurat, objektif, maupun dapat digeneralisasi. Oleh karena itu, yuk dari mulai dari sekarang kita kenali dan cermati dengan kritis tes psikologis yang kita gunakan!
Ditulis oleh: Dr. Dewi Maulina, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Afiyana Eka Nurilla)