Ternyata Pekerja Bisa Stres karena Teknologi, Ini 4 Tips Atasinya

JAKARTA – Teknologi membantu manusia untuk saling terkoneksi, lebih cepat menyelesaikan tugas dan mengerjakan hal-hal yang sebelumnya tidak terbayangkan. Namun, teknologi juga memiliki sisi gelap.

Dalam dunia kerja, teknologi tidak hanya membantu, tapi dapat membuat karyawan stres. Stres ini dikenal sebagai technostress, yaitu stres yang disebabkan oleh penggunaan teknologi.

Dampak technostress ini bisa besar, loh. Jika perusahaan tidak hati-hati dalam menangani atau meredam technostress, dampak negatif bisa muncul pada karyawan, seperti mengurangi kepuasan kerja, komitmen, inovasi, dan produktivitas secara umum. Jadi apa sih yang bisa pemicu technostress dan bagaimana cara mencegah stres ini?

Teknologi dapat memicu stres karena berbagai hal, yang disebut juga sebagai technostress creators (penyebab stres karena teknologi), yaitu:

  1. Techno-complexity (“Susah banget sih mau pakai ini!”)

Stres bisa terjadi karena teknologi yang digunakan terlalu rumit, tidak cukup pengetahuan mengenai teknologi, atau butuh waktu yang banyak untuk bisa memahami teknologi. Misalnya, karyawan mendapatkan peralatan baru dari luar negeri dengan panduan yang sangat sulit untuk dipahami dan tidak ada pelatihan sebelumnya tentang peralatan tersebut.

  1. Techno-invasion (“Gara-gara ada aplikasi ini, kehidupan pribadi saya jadi terganggu!”)

Karyawan juga bisa merasa stres karena teknologi bisa melanggar privasi atau mengurangi batasan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja. Tidak jarang karyawan harus membalas pesan dari atasan atau klien di luar jam kerja, tetap harus memantau pekerjaan ketika liburan, atau tidak nyaman karena di tempat kerjanya dipasang CCTV untuk mengawasi kinerjanya.

  1. Techno-insecurity (“Kayanya pekerjaan saya tidak relevan lagi deh sejak ada teknologi ini”)

Inovasi teknologi memang bisa membuat kerja lebih efisien, tapi bisa juga dianggap merebut lapangan kerja manusia atau membuat mereka harus bersaing dengan orang baru yang memiliki kompetensi terkait teknologi tersebut. Hal ini menyebabkan karyawan bisa merasa terancam dan tertekan untuk terus meningkatkan diri agar bisa tetap relevan di tengah gempuran inovasi baru seperti mesin atau program terbaru maupun hal seperti Artificial Intelligence (AI).

  1. Techno-overload (“Banyak banget tugasnya sekarang gara-gara teknologi, bikin capek!”)

Karyawan bisa dituntut untuk bekerja lebih lama, lebih banyak, dan lebih cepat karena dukungan teknologi. Misalnya, rapat bisa berlangsung lebih lama sampai malam karena bisa dilakukan pertemuan via panggilan video. Mesin pencarian dan kemungkinan untuk menarik data dalam jumlah yang besar memungkinkan laporan kerja yang lebih kaya dengan data banyak. Akibatnya, karyawan bisa merasa kewalahan karena harus mengubah gaya kerjanya untuk disesuaikan dengan teknologi baru, terpaksa bekerja banyak dengan waktu yang lebih sempit, maupun harus mencerna informasi lebih banyak.

  1. Techno-uncertainty (“Lah kayanya kemarin baru ganti aplikasi, sekarang ganti lagi?”)

Perubahan teknologi yang cepat bisa membuat karyawan tertekan karena mereka dituntut oleh perusahaan untuk cepat mempelajari dan beradaptasi dengan piranti lunak (software), piranti keras (hardware), dan teknologi baru lainnya. Apa yang sudah disiapkan karyawan untuk menunjang satu teknologi mungkin bisa jadi tidak relevan lagi setelah beberapa bulan ke depan, sehingga karyawan bisa merasa stres akibat ketidakpastian tersebut.

Apakah Anda memiliki pengalaman stres karena teknologi seperti di atas? Berikut beberapa tips yang Anda dan perusahaan dapat pertimbangkan:

 

Untuk karyawan

  1. Istirahatkan mata Anda, lakukan peregangan (stretching), praktikkan meditasi atau latihan bernapas untuk istirahat sejenak dari tuntutan teknologi.
  2. Fokus pada hal yang bisa dikerjakan dan lihat pembelajaran terhadap teknologi baru sebagai tantangan untuk mengasah kemampuan memecahkan masalah dan mengembangkan diri.
  3. Diskusikan dengan atasan atau perusahaan Anda batasan komunikasi melalui teknologi di luar jam kerja. Mintalah agar Anda bisa tidak membalas hal terkait dengan pekerjaan di luar jam kerja atau ketika Anda libur. Jika tidak memungkinkan, diskusikan apa Anda bisa memprioritaskan untuk membalas hal tertentu saja. Diskusikan juga apakah memungkinkan tetap ada periode ‘waktu sunyi’ di akhir pekan atau liburan untuk menghindari tuntutan pekerjaan selama beberapa jam.
  4. Jika Anda merasa kewalahan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional, seperti psikolog atau konselor.

Untuk perusahaan

  1. Sebisa mungkin, hindari perubahan teknologi yang terlalu cepat atau menggunakan teknologi baru yang terlalu kompleks jika hanya memberikan sedikit manfaat. Hal-hal tersebut mungkin mengurangi produktivitas dan menambah beban kerja, apalagi jika manfaatnya hanya sedikit.
  2. Jika memungkinkan, berikan kebebasan kepada karyawan atau libatkan mereka untuk menentukan teknologi baru serta cara untuk mengadaptasi teknologi tersebut.
  3. Ketika ada teknologi baru yang harus digunakan, pastikan ada pelatihan dan sosialisasi terlebih dahulu sehingga karyawan bisa lebih punya bekal dalam beradaptasi. Lakukan komunikasi, diskusi, dan evaluasi secara berkala tentang kemudahan, kesulitan, atau efek lainnya yang ditimbulkan karena teknologi baru.
  4. Sediakan tim helpdesk yang dapat membantu menjawab pertanyaan jika ada kesulitan dan karyawan.
  5. Berikan imbalan seperti apresiasi atau bonus jika karyawan berhasil mengadaptasi teknologi baru yang dibutuhkan perusahaan.
  6. Pertimbangkan untuk menyediakan layanan konseling atau dukungan psikologis bagi karyawan yang mengalami technostress.

 

Referensi

Fritz, C., & Demsky, C. A. (2019). Non-work time as individual resource building: a review and research agenda. Creating Psychologically Healthy Workplaces, 133-151.

Hwang, I., Kim, S., & Rebman, C. (2022). Impact of regulatory focus on security technostress and organizational outcomes: the moderating effect of security technostress inhibitors. Information Technology & People, 35(7), 2043-2074.

Nastjuk, I., Trang, S., Grummeck-Braamt, J. V., Adam, M. T., & Tarafdar, M. (2024). Integrating and synthesising technostress research: a meta-analysis on technostress creators, outcomes, and IS usage contexts. European Journal of Information Systems, 33(3), 361-382.

Ragu-Nathan, T. S., Tarafdar, M., Ragu-Nathan, B. S., & Tu, Q. (2008). The consequences of technostress for end users in organizations: Conceptual development and empirical validation. Information Systems Research, 19(4), 417-433.

Suh, A. & Lee, J. (2017), Understanding teleworkers’ technostress and its influence on job satisfaction, Internet Research, 27(1), 140-159. https://doi.org/10.1108/IntR-06-2015-018

Tarafdar, M., Tu, Q., Ragu-Nathan, B. S., & Ragu-Nathan, T. S. (2007). The impact of technostress on role stress and productivity. Journal of Management Information Systems, 24(1), 301-328.

Tarafdar, M., Tu, Q., Ragu-Nathan, T. S., & Ragu-Nathan, B. S. (2011). Crossing to the dark side: examining creators, outcomes, and inhibitors of technostress. Communications of the ACM, 54(9), 113-120.

Zhao, X., Xia, Q., & Huang, W. (2020). Impact of technostress on productivity from the theoretical perspective of appraisal and coping processes. Information & Management, 57(8), 103265.

Ditulis oleh : Eka Gatari, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Fatimah Az-Zahra

Sumber: https://edukasi.okezone.com/read/2024/06/13/65/3021074/ternyata-pekerja-bisa-stres-karena-teknologi-ini-4-tips-atasinya?page=2

We are using cookies to give you the best experience. You can find out more about which cookies we are using or switch them off in privacy settings.
AcceptPrivacy Settings

GDPR

× Whatsapp Fakultas