Depok, 18 Desember 2023. “Jarak pemimpin dengan karyawannya hanya yang didahulukan selangkah, yang ditinggikan seranting, yang dilebihkan serambut, yang dimuliakan sekuku. Pemimpin yang kita harapkan adalah pemimpin yang tidak mengambil jarak terlalu tinggi dengan karyawannya,” kata Prof. Corina D.S. Riantoputra Ph.D., Psikolog, Sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Indonesia (UI). Kalimat nukilan dari bahasa Melayu tersebut disampaikannya dalam orasi ilmiah yang berjudul “Psikologi Kepemimpin: Esensi, Posisi, dan Filosofi”, pada saat pengukuhannya sebagai guru besar UI di Balai Sidang UI, Kampus Depok, Jawa Barat (Sabtu. 16/12). Menurutnya, ada banyak masalah dalam praktik kepemimpinan di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah passive leader (pemimpin pasif yang menerima gaji, namun enggan mengarahkan karyawannya); self-serving leaders (pemimpin yang fokus hanya pada dirinya sendiri); destructive leaders (pemimpin yang kasar dan merendahkan anggotanya); dan hubris leaders (pemimpin yang terlalu percaya diri dan mengambil keputusan yang membahayakan organisasinya).
Menurut Prof. Corina, masalah-masalah tersebut muncul karena kepemimpinan yang berkembang saat ini masih berorientasi pada leader centric yang menganggap pemimpin adalah segalanya dan mengesampingkan karyawannya. Kabar baiknya, saat ini paradigma tersebut telah bergeser menjadi leader-member centric yang mulai mengakui bahwa anggota organisasi juga penting. Oleh sebab itu, Prof. Corina merekomendasikan Psikologi Kepemimpinan sebagai salah satu sarana bagi pemimpin untuk melihat asumsi dasar tentang kehidupan.
Ada lima asumsi dasar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam Psikologi Kepemimpinan. Kelima asumsi tersebut adalah asumsi tentang diri (sebagai pemimpin), asumsi tentang kemampuan dan batas kemampuan diri, tujuan pemimpin, asumsi tentang hubungan pemimpin dan anggota organisasi, serta asumsi tentang konteks organisasi, termasuk di dalamnya budaya dan peraturan.
Identitas diri mengarahkan pemimpin untuk bergerak memahami siapa dirinya. Orang yang mendefinisikan dirinya sebagai pemimpin cenderung berinisiatif, mengemukakan pendapat yang berbeda, dan ikhlas mengerjakan tugas. Bagi perempuan pemimpin, sering kali ada konflik identitas antara dia sebagai perempuan dan sebagai leaders. Prof. Corina menyebut harus ada sinergi antara dua identitas ini. Jika tidak ada sinergi, akan muncul konflik identitas yang dapat membebani.
“Riset saya pada pengusaha UMKM di Indonesia memperlihatkan bahwa semakin banyak konflik, perempuan akan semakin bekerja keras karena rasa bersalahnya. Semakin dia menunjukkan dia mampu, semakin tinggi konfliknya. Hal ini berdampak pada kesehatan mental yang terganggu. Anak-anaknya terganggu, suaminya di rumah pun terganggu,” ujar Prof. Corina.
Selain memahami identitas dirinya, pemimpin harus mengetahui kemampuan dan batas kemampuan diri. Hal ini berkaitan erat dengan humility (kerendahan hati). Pemimpin yang rendah hati akan merasa nyaman dengan dirinya dan ingin belajar dari orang lain. Dalam hal ini, pemimpin dapat mengapresiasi kemampuan orang lain dan secara konklusif mampu membuat anggotanya merasa bermakna, aman untuk berbicara, dan tergerak untuk berinisiatif.
Sebelum memutuskan untuk menjadi pemimpin, seseorang perlu paham apa tujuan dan prinsip dasarnya. Tujuan memimpin bukan untuk kebutuhan pribadi, melainkan untuk membangun organisasi. Pemimpin harus menyadari bahwa ia dan anggota adalah satu tim. Prof. Corina mengatakan, “Sudah saatnya kita melupakan bahwa pemimpin memiliki followers, seolah-olah anggota organisasi adalah orang yang tidak mampu berpikir seperti kambing dicocok hidungnya. Anggota organisasi itu bermakna sehingga kita perlu membangun a sense of us atau penghayatan ke-kita-an di dalam organisasi.”
Budaya organisasi yang menampilkan adanya jarak kekuasaan yang terlalu tinggi membuat karyawan sulit untuk berbicara. Dalam kondisi ini, pemimpin harus mendekat, membuka diri, dan mengatakan, Saya bukan orang yang mengerti segalanya, mari bekerja sama. Untuk menghidupkan kedekatan ini, pemimpin harus menyadari bahwa ia tidak dapat menjadikan pendapatnya sebagai aturan. Ia perlu menghargai peraturan yang ada dan memahami batas kewenangannya.
“Leadership perlu berbicara tentang meta-competencies. Sudah cukup rasanya membahas pengetahuan dan gaya kepemimpinan, kita harus berbicara esensi dan asumsi dasar manusia. Karyawan harus bisa mengatakan jika pemimpinnya salah, dan pemimpin harus bisa melatih dirinya untuk membangun kekita-an dengan anggotanya,” kata Prof. Corina.
Penelitian Prof. Corina mengenai Psikologi Kepemimpinan merupakan satu dari banyaknya penelitian yang dilakukan sebelumnya. Beberapa di antaranya adalah Psychological and Social Factors Important for an Individual’s Participation in Training Indonesia (2023); Employee Accountability in Indonesia: The Role of Formalization, Managerial Monitoring Behavior and Perceived Competence (2022); dan Investigating Work Engagement of Highly Educated Young Employees through Applying the Job Demands-Resources Model (2021).
Sebelum dikukuhkan sebagai; Guru Besar dalam Ilmu Psikologi, Fakultas Psikologi UI, Prof. Corina menamatkan pendidikan Sarjana Psikologi UI pada 1992; mendapat gelar Master of Commerce (in Organizational Study), University of New South Wales–Australia tahun 2000; dan memperoleh gelar Ph.D. (in Organizational Behavior) di University of New South Wales–Australia, tahun 2010.
Prosesi pengukuhan yang dipimpin langsung oleh Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., tersebut turut dihadiri oleh Ketua MWA UI, Dr. (HC) Noni S. A. Purnomo, B.Eng., MBA; Ketua MWA Periode 2007–2012,Purnomo Prawiro; Ketua MWA Periode 2019–2023, Saleh Husin, S.E., M.Si.; Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, Didiek Hartantyo; Anggota Komisaris PT Kereta Api Indonesia, Riza Primadi dan Chairul Anwar; dan Direktur SDM dan Umum PT Kereta Api Indonesia, Suparno.
Nomor: PENG-668/UN2.HIP/HMI.03/2023
SIARAN PERS