Teknologi dan Masalah Eksistensi Diri: Sebuah Fenomena Kejiwaan Modern

Depok, 16 Oktober 2021. Kehidupan manusia sudah sedemikian berubah dengan hadirnya teknologi. Kecanggihan teknologi ini, seperti realitas virtual, sistem fisik siber, internet of things, big data, hingga kecerdasan buatan telah sangat banyak membantu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja di banyak bidang. Dengan bantuan teknologi, kerja repetitif dan berbahaya dapat dikerjakan oleh mesin, sehingga manusia dapat mengerjakan hal-hal yang lebih penting.

Di tengah berbagai kemajuan tersebut, terdapat sisi negatif lain dari adanya kemajuan teknologi, yaitu perubahan pola berpikir dan berperilaku manusia. Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, M.Hum., Psikolog, dalam pidato pengukuhan guru besarnya yang berjudul “Manusia Dalam Era Industri Keempat: Isu Kesehatan Mental, Eksistensi, & Psikologi Sebagai Ilmu” memaparkan bahwa penggunaan media sosial cenderung menyebabkan penggunanya mengalami permasalahan jati diri dan eksistensi.

“Ini karena pengguna media sosial cenderung membandingkan diri dengan teman sebaya yang tampil lebih cantik, kaya, lebih banyak teman, lebih keren, pandai, atau lebih internasional di media sosial. Akhirnya cara manusia mengukur nilai diri menjadi lebih superfisial, permukaan, dan shallow. Penampilan, status sosial, dan kemakmuran menjadi lebih penting daripada spiritualitas, kedamaian diri, ataupun pengetahuan,” ujarnya.

Rasa sepi juga menjadi salah satu dampak sosial tertinggi yang terjadi di kalangan anak muda. Hal ini terjadi karena di era ini, komunikasi tidak perlu selalu dilakukan dengan tatap muka, sedangkan ada unsur-unsur komunikasi yang tidak dapat digantikan dari kegiatan bertemu langsung, seperti ikatan emosional, kehangatan, dan kemampuan membaca situasi-kondisi. Kemampuan-kemampuan ini tidak dilatih dalam interaksi maya, sehingga kemampuan bersosialisasi manusia menjadi berkurang.

Sifat anonimitas (tidak bernama) dalam interaksi maya juga mengakibatkan manusia dapat melepaskan sisi-sisi agresifnya tanpa harus bertanggung jawab terhadap perilakunya tersebut, sehingga fenomena cyber bullying kini kerap terjadi. Belum lagi kecemasan kolektif yang kini kerap terjadi karena arus informasi yang semakin cepat dan tidak terfilter (hoaks).

“Teknologi menyebabkan saat ini terjadi suatu kondisi dimana kita tidak bisa lagi membedakan antara mana yang real (nyata) dan mana yang merupakan pencitraan semata. Ini menjadi sebuah isu tersendiri di era digital ini. Virtualitas menjadi realitas. Inilah yang kita sebut kondisi hiperrealitas,” katanya menjelaskan.

Kondisi ini menyebabkan banyak orang terjebak pada fiksi yang dibangun dirinya sendiri melalui pencitraan diri yang ditampilkan dalam gambar, berita-berita yang tampil di beranda media sosial (yang terfilter karena algoritma), maupun komentar yang muncul dari unggahan. Semua ini menjadikan manusia berpikir sempit, terjebak dalam pemikiran, dan “realita” dirinya sendiri.

Kehidupan yang terisolasi dan egosentris ini terbukti menyebabkan fenomena bunuh diri, dan keinginan menyakiti diri sendiri, yang meningkat dalam 10 tahun terakhir ini. Dari semua fenomena tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara psikologis dan mental, manusia belum siap menerima dampak jangka panjang dari ciptaan yang telah dibuatnya sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, pendidikan menjadi salah satu kunci.

Elizabeth mengatakan bahwa di masa depan, harus diperkenalkan apa yang disebut dengan “pedagogi posthumanisme”, yaitu kurikulum pembelajaran yang diarahkan untuk membantu manusia menangkap dimensi filosofis dan isu kompleks dari hubungan-hubungan dalam ruang daring. Dalam kurikulum ini, penekanan terjadi pada diskusi mengenai topik-topik khas manusia seperti autonomi, kehendak bebas, relasi antar individu, antar kelompok, dan kaitannya dengan kondisi global.

“Pendidikan tinggi perlu menghasilkan lulusan yang berpikir dengan bijak untuk dapat membangun dunia bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain dan generasi mendatang. Ada sifat altruisme yang harus diajarkan kepada individu, agar mereka tidak terjebak pada dunia dan realitasnya sendiri. Ini berlaku di semua bidang ilmu, termasuk ilmu psikologi,” ujarnya.

Kajian tentang hubungan teknologi dan eksistensi manusia ini dipaparkan oleh Elizabeth pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Psikologi Klinis pada Sabtu (16/10). Kegiatan ini disiarkan secara langsung di kanal Youtube Universitas Indonesia. Kegiatan ini disiarkan secara virtual di kanal Youtube Universitas Indonesia dan dihadiri berbagai tamu undangan seperti Prof. Dr. H. Boediono, B.Sc., M.Ec. (Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014), Dr. Ir. Paristiyanti Nurwardani, M.P. (Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek), dr. Lies Dina Liastuti, SpJP(K) (Direktur Utama RSCM), dr. Ivan Rizal Sini, MD, FRANZOG, GDRM, MMIS, Sp.OG.( President Commisioner Bunda Medik Healthcare System).

Elizabeth saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Doktor, Fakultas Psikologi UI. Ia menyelesaikan semua jenjang akademiknya di UI. Dimulai dari menyelesaikan program sarjananya pada tahun 1988 di Fakultas Psikologi, ia melanjutkan pendidikannya pada Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Interdisiplin pada tahun 1991, dan menyelesaikan jenjang S3 pada program studi Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya pada tahun 2002.

Isu perempuan dan gender adalah wilayah kajian yang ia tekuni, ini terlihat dari beberapa judul karya ilmiah yang telah ia buat, diantaranya yaitu The Narrative of Women in Prison: The Parenting Practices and the Concepts of Mother in Incercated Women, dan Ambivalent Sexism & Sexual Objectification of Women as Predictors of Rape Myth Acceptance Among Male College Students in Greater Jakarta. Berkat dedikasi dan komitmennya pada isu gender dan perempuan, saat ini ia menjabat sebagai co-president Asian Association of Women’s Studies.

Sumber: SIARAN PERS UI
Depok, 16 Oktober 2021