Jakarta, Beritasatu.com – Psikosomatis yang timbul pada masa pandemi merupakan kecemasan yang termanifestasi menjadi bentuk gejala fisik.
Terdapat beragam gejala fisik yang muncul dalam psikosomatis selama pandemi Covid-19, di antaranya sakit kepala, nafsu makan yang menurun, batuk, bersin dan sebagainya. Psikosomatis muncul karena ada rasa cemas yang tak terkelola dengan baik.
Demikian diungkapkan dosen bidang studi psikologi klinis Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Lathifah Hanum, Jumat (8/5/2020).
Diungkapkan, sapaan akrabnya, ciri psikosomatis adalah ketika tubuh kita memunculkan reaksi tidak baik, tetapi ketika kita memeriksakan diri ke dokter, maka dokter akan mengatakan bahwa diri kita baik-baik saja, dan tidak ada yang salah di tubuh kita.
“Saat ini semua hal dirasakan merujuk ke Covid-19. Kita pusing, batuk, bersin saja kita pasti sudah berpikiran ‘jangan-jangan saya covid’. Jika psikosomatis ini berkepanjangan, maka malah akan menanamkan keyakinan dalam diri kita kalau kita benar-benar menderita sakit tersebut,” tutur Hanum.
Hal tersebut berisiko terhadap biaya kesehatan yang membengkak di mana ketika kita merasa tidak yakin bahwa kita menderita sakit tertentu. Padahal, dokter sudah mengatakan bahwa kita sehat dan baik-baik saja.
Salah satu pemicu munculnya psikosomatis, adalah berasal dari media sosial dan juga aplikasi whatsapp.
“Kalau Whatsapp mau tidak mau pasti terbaca ketika kita membuka dan terdapat berita Covid-19. Kita bisa memilih untuk opsi mute sehingga kita tidak perlu mengetahui ketika ada notifikasi baru di Whatsapp. Ini akan membantu mengurangi pemikiran negatif yang masuk ke pikiran kita,” tutur Hanum.
Terlebih tak semua informasi atau berita di media sosial dan Whatsapp adalah berita yang valid kebenarannya. Seringkali diragukan. Untuk itu, lanjut Hanum, kita wajib melakukan pencarian di Google atau melalui cara lainnya untuk memastikan kebenaran berita tersebut.
Meski berada di rumah terus-menerus dalam waktu lama, kita juga tak boleh melupakan hal-hal yang biasanya menjadi mood booster kita sehari-hari.
“Jika biasanya kita membeli kopi dalam perjalanan ke kantor untuk menemani pagi sebelum menjalani aktivitas, maka sekarang sediakan kopi tersebut di rumah. Tetap resapi rasa kopi tersebut seperti biasanya kita menyeruputnya setiap pagi,” kata Hanum.
Jalin Relasi
Dia juga menekankan pentingnya untuk tetap menjalin relasi dengan orang lain, meskipun sedang banyak mengalokasikan waktu di rumah. Tetaplah menjaga relasi dengan orang lain dengan memanfaatkan media yang tersedia.
“Kita bisa juga mencoba media-media baru dalam interaksi kita tersebut, misalnya video call dengan fitur-fitur lucu yang disediakan oleh media tersebut.
Interaksi sosial seperti ini, meskipun tidak bertatap muka secara langsung, dapat membantu kita untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan yang dimiliki,” tutur Hanum.
Dengan demikian, hal-hal yang menimbulkan rasa tidak nyaman di dalam diri pun dapat diungkapkan. Bahkan, mungkin lawan bicara kita dapat membantu “menyembuhkan” rasa tidak nyaman tersebut.
Hanum juga menyarankan untuk membatasi konsumsi berita. Pada kondisi saat ini, berita merupakan salah satu hal yang penting untuk diakses. Namun, jika terus mendengarkan berita tersebut selama 24 jam, maka kita pun bisa menjadi tertekan. Untuk itu, sebaiknya kita membatasi jumlah jam yang digunakan untuk mencari berita terkini.
“30 menit sampai satu jam sudah cukup untuk mengetahui berita perkembangan terbaru. Tidak lebih dari durasi waktu tersebut,” ujar Hanum.
Bila kita menjalani work from home, maka sediakan area kerja yang nyaman di salah satu sudut rumah. Area kerja yang menetap di rumah akan membantu untuk lebih fokus dalam bekerja.
“Pekerjaan memang penting, tetapi jangan lupa untuk melakukan relaksasi di tengah-tengah pelaksanaannya. Tarik napas yang dalam dapat membantu untuk menjadi lebih tenang dalam melaksanakan pekerjaan. Terapkan jaga kesehatan dengan tidur cukup, minum air putih yang cukup, serta makan makanan bergizi,” pungkas Hanum.
Lathifah Hanum, Dosen Fakultas Psikologi UI