Doktor UI Paparkan Mekanisme Overimitation Pada Anak Bersuku Sunda

Fenomena  overimitation  merupakan cara anak melakukan pembelajaran budaya (cultural learning) melalui observasi dan meniru dengan persis tindakan model bahkan sampai tindakan yang tidak diperlukan.  Pembelajaran budaya sering terjadi pada situasi eavesdrop (menguping), yakni anak memeroleh keterampilan sosial tanpa diajarkan secara langsung atau sengaja, melainkan belajar melalui pengamatan dan melakukan overimitation terhadap pihak ketiga.

Pembelajaran dapat terjadi karena anak memahami intensi orang lain melalui isyarat sosial yang ditampilkan. Isyarat sosial yang dimaksud meliputi ekspresi emosi visual, yaitu ekspresi wajah, tatapan mata, gestur tangan, serta ekspresi emosi vokal, seperti intonasi suara dan pengulangan kata. Budaya Sunda, seperti pada umumnya budaya kolektivisme, mementingkan hubungan yang harmonis antara anggota masyarakatnya. Oleh karena itu ekspresi emosi pada budaya Sunda ditampilkan secara terkendali agar tidak menimbulkan konflik. Ekspresi emosi berfungsi untuk mengarahkan perilaku anak, sehingga perlu diketahui tampilan serta peran masing-masing ekspresi emosi dalam mengarahkan perilaku anak. Dilakukan studi 1 – isyarat sosial untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hasil dari studi ini digunakan sebagai variabel bebas pada studi 2 – overimitation yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan utama, yaitu mekanisme apa yang memengaruhi terjadinya overimitation pada anak Sunda saat terpapar isyarat sosial persetujuan khas budaya Sunda?

Studi 1 dan studi 2 menggunakan rancangan penelitian eksperimen terhadap variabel dan unit penelitian yang berbeda. Studi 1- Isyarat sosial—dengan unit analisis penelitian berupa pasangan ibu dan anak—menggunakan two group experiment design within subject factor terhadap ekspresi emosi yang digunakan oleh ibu dalam kombinasi isyarat sosial dengan reaksi anak terhadap isyarat sosial tersebut. Hasil dari studi 1 adalah besarnya penggunaan ekspresi wajah datar oleh ibu pada hampir setiap kombinasi isyarat sosial. Namun, ibu menggunakan intonasi suara untuk memberi persetujuan terhadap tindakan anak. Kombinasi isyarat dengan wajah datar dan intonasi suara sebagai penanda merupakan isyarat sosial persetujuan khas budaya Sunda.

Kombinasi isyarat sosial ini digunakan sebagai variabel bebas pada Studi 2 – overimitation yang diuji dengan menggunakan mixed experimental factorial design beserta dua variabel bebas lainnya, yaitu persetujuan dan relevansi tindakan model untuk diketahui pengaruh setiap variabel terhadap keputusan anak  melakukan overimitation. Variabel bebas dipilih berdasarkan tiga mekanisme overimitation yang berbeda. Eksperimen dilakukan dengan menggunakan peranti yang tidak diketahui cara penggunaan sebelumnya (novel). Anak diperkenalkan cara menggunakan objek baru tersebut melalui film eksperimen. Dalam film tersebut model tidak secara langsung mengajarkan cara penggunaan objek baru seperti film pengajaran, namun model menggunakan objek dan tindakannya diberikan isyarat sosial persetujuan khas budaya Sunda.

Diperoleh hasil bahwa penggunaan isyarat sosial persetujuan khas budaya Sunda saja tidak cukup untuk mendorong terjadinya overimitation jika tidak dibarengi dengan pembentukan norma sosial sebagai social influence. Keberadaan isyarat sosial sebagai penanda bagi tindakan yang penting belum cukup untuk mendorong anak melakukan overimitation. Perlu diikuti oleh pembentukan norma sosial—melalui sanksi sosial atau menambah jumlah model—agar tindakan dianggap sebagai suatu konvensi. Pada pembelajaran budaya, norma sosial menjadi latar belakang yang mendorong terjadinya belajar melalui pengamatan seperti overimitation pada situasi eavesedroping.

Kontribusi penelitian ini pada ilmu adalah terungkapnya penggunaan ekspresi emosi pada isyarat sosial persetujuan yang sesuai dengan budaya Sunda dengan menekankan pentingnya harmonisasi hubungan bermasyarakat. Selain itu ditemukan bahwa pada situasi eavesdrop, isyarat sosial persetujuan yang sesuai dengan budaya yang dipahami oleh anak tidak cukup untuk mendorong terjadinya pembelajaran budaya. Dibutuhkan norma sosial yang ajek agar terjadi overimitation yang merupakan proses pembelajaran budaya. Temuan ini dapat berkontribusi dalam penyusunan sistem pendidikan maupun penanaman nilai positif pada anak maupun pengelolaan terhadap nilai negatif yang dicontoh oleh anak.

Hasil Penelitian di atas dipaparkan oleh Afra Hafny Noer, dengan judul disertasi “Mekanisme Overimitation Pada Anak Bersuku Sunda Dengan Pemberian Isyarat Sosial Persetujuan Yang Dipengaruhi Oleh Budaya Sunda”,  dalam sidang terbuka Promosi Doktor yang berlangsung Senin, 9 Juli 2018 bertempat di Ruang Auditorium Gd. H Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Bertindak sebagai Ketua Sidang, yakni Prof. Dr. Frieda Mangunsong Siahaan, M.Ed. Psikolog ;Ketua Penguji Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si., Psikolog dengan anggota Tim Penguji Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, Psikolog, Prof . Dr. Frieda Mangunsong Siahaan, M.Ed. Psikolog, Dr. Hendriati Agustiani, M.Si, Psikolog, Dra. Dianti Endang Kusumardhani, M.Si.,Ph.D.,Psikolog; Prof. Sri Hartati R. Suradijono, MA., Ph.D., Psikolog (Promotor); Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, M.A., Psikolog (Ko-Promotor 1); Drs. Urip. R. Purwono, M.Sc., Ph.D., Psikolog (Ko-Promotor 2).

Setelah mempertahankan disertasinya, Tim Penguji memutuskan mengangkat Afra Noer Hafny sebagai Doktor ke-144 yang dihasilkan oleh Program Studi Ilmu Psikologi jenjang Doktor FPsi UI, dan merupakan Doktor ke-102 yang lulus setelah Program studi ilmu Psikologi jenjang Doktor dikembalikan ke Fakultas Psikologi UI, dengan predikat sangat memuaskan.