Dicky Pelupessy: Memperkuat Komunitas Dalam Penanganan Covid-19

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo menyatakan bahwa percepatan penanganan berbasis komunitas merupakan strategi yang dipilih pemerintah (BNPB, 25 Maret 2020).

Strategi ini bertujuan untuk melindungi warga yang masih sehat dan menyembuhkan warga yang sakit. Dengan strategi ini, pemerintah menekankan pelibatan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut.

Sebelum dan sesudah pernyataan Doni Monardo tentang strategi berbasis komunitas tersebut, telah muncul inisiatif-inisiatif warga untuk meringankan beban warga lainnya yang sehat, namun mengalami kesulitan ekonomi akibat situasi pandemik covid-19. Selain itu, banyak muncul aksi kerelawanan warga yang mengumpulkan dan menyumbangkan alat perlindungan diri (APD) bagi para tenaga kesehatan yang berjuang menyembuhkan pasien covid-19.

Sampai sejauh ini, selain menyatakan bahwa peran sukarelawan amat penting dalam penanganan wabah covid-19, Gugus Tugas belum banyak menjabarkan strategi percepatan penanganan berbasis komunitas. Meski jelas tujuan percepatan penanganan Covid-19 adalah melindungi warga yang masih sehat dan menyembuhkan warga yang sakit, namun Gugus Tugas belum cukup mengelaborasi apa dan bagaimana strategi berbasis komunitas dalam percepatan penanganan pandemi covid-19.

Komunitas
Menggunakan komunitas sebagai basis untuk merespons krisis memang merupakan langkah yang tepat menurut Russell Dynes (1998). Komunitas merupakan bentuk universal dari kehidupan sosial (universal form of social life) yang memiliki kapasitas untuk menanggapi bencana.

Komunitas adalah tempat di mana tindakan sosial (social action) muncul untuk menanggapi konsekuensi dan tantangan dari bencana. Dengan perkataan lain, efek atau dampak bencana indikatornya adalah tindakan-tindakan adaptif yang dilakukan komunitas.

Eksistensi komunitas amat penting untuk menanggapi krisis– tak terkecuali krisis akibat pandemi covid-19, namun mendefinisikan apa itu komunitas bukan perkara yang mudah. Sebagai bukti, 65 tahun yang lalu (1955) George Hillery mendapati setidaknya ada 94 definisi komunitas.

Betapapun tidak mudah melakukannya, disiplin psikologi komunitas– sebagai disiplin yang fokus pada komunitas– bisa merangkum tiga pendekatan untuk mendefinisikan komunitas. Pertama, pendekatan lokalitas. Pendekatan ini mengonsepsikan komunitas secara tradisional, yaitu komunitas terbentuk karena semata-mata kedekatan secara fisik antara orang-orang yang berada dalam batas geografis yang sama.

Singkatnya, komunitas ada karena faktor lokasi dan batas geografis. Contoh komunitas menurut pendekatan ini adalah komunitas RT, RW, dusun, desa, dan sebagainya.

Kedua, pendekatan relasional. Menurut pendekatan ini, komunitas terbentuk karena relasi interpersonal. Relasi interpersonal tersebut dapat didasari oleh pertemanan, kesamaan minat, hobi. misi dan lain-lain. Oleh karena itu, komunitas yang terbentuk karena relasi interpersonal biasanya dapat melampaui lokalitas atau batas geografis tertentu. Contoh komunitas menurut pendekatan relasional adalah komunitas minat otomotif, filateli, dan lain-lain.

Ketiga, pendekatan konstruksionis. Menurut pendekatan ini komunitas merupakan sebuah konstruksi sosial. Artinya, komunitas dikonstruksi oleh kesadaran bersama-sama di antara individu-individu yang bersepakat untuk menggapai mimpi atau tujuan bersama.

Satu kerangka teoritik pendekatan konstruksionis yang terkenal adalah imagined communities- yang diajukan oleh Benedict Anderson (1983). Dengan mengambil kasus Indonesia, Benedict Anderson secara gamblang menunjukkan bahwa Indonesia pada dasarnya adalah suatu komunitas yang dikonstruksikan secara bersama-sama oleh individu-individu yang tidak saling kenal.

Indonesia adalah komunitas yang terbayangkan (imagined) oleh anggota-anggotanya di seantero nusantara yang mustahil bertemu, mengenal, atau mengetahui kabar satu sama lain. Namun demikian, oleh anggota-anggota komunitasnya –dari Sabang sampai Merauke –terbayangkan adanya kedekatan di antara mereka dan adanya persatuan dalam satu komunitas yang disebut Indonesia.

Sense of community
Seorang tokoh psikologi komunitas, Seymour Sarason, menerima banyak klien dengan berbagai masalah psikologis lewat praktik yang dijalaninya selama hampir satu dekade (1961-1970) di klinik psikologi milik Universitas Yale.

Ia menganalisis dan menyimpulkan bahwa kasus-kasus kliennya maupun klien klinik bersumber dari perasaan kesepian (loneliness), keterasingan (alienation), dan ketercerabutan (rootlessness). Ketika mendalami perasaan kesepian, keterasingan, dan ketercerabutan yang dialami oleh banyak kliennya, ia juga mendeteksi adanya keterhubungan hal-hal tersebut dengan disintegrasi masyarakat (the disintegration of society) yang ditandai oleh kemiskinan, kriminalitas, dan konflik rasial.

Lewat kontemplasi mendalam atas sumber masalah klien dan disintegrasi masyarakat yang melatarbelakangi masalah kliennya, Sarason kemudian mempostulasikan teori sekaligus konsep yang fundamental bagi disiplin psikologi komunitas, yaitu sense of community (SOC) atau perasaan kekomunitasan.

Sarason (1974) menuangkan teori dan konsep SOC di dalam buku berjudul The psychological sense of community: Prospects for a community psychology.

Menurut Sarason, SOC adalah elemen utama komunitas. Lebih dari itu, SOC merupakan bahan dasar dari komunitas yang sehat. SOC menunjukkan adanya perasaan memiliki (belonging), tanggung jawab (responsibility), dan tujuan (purpose) dalam kehidupan sehari-hari di level komunitas.

Kuatnya SOC berkorelasi dengan kuatnya modal sosial suatu komunitas (Perkins dkk., 2002). Dengan SOC yang kuat, satu komunitas bisa menjadi komunitas yang kompeten (Cottrell, 1976; Goeppinger & Baglioni, 1985) karena adanya partisipasi dan perasaan berdaya yang tinggi dari anggota komunitas.

SOC akan mendorong keberfungsian komunitas sekaligus memfasilitasi terbentuknya efikasi komunal atau keyakinan bersama mampu mengatasi suatu masalah. Dengan perkataan lain, SOC yang kuat merupakan kunci bagi komunitas untuk mampu menyelesaikan masalah-masalah komunitas ataupun masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh komunitas.

Berbasis komunitas 
Strategi berbasis komunitas untuk menangani covid-19 bukanlah semata-mata mendorong warga untuk menjadi sukarelawan, atau mengumpulkan bantuan untuk warga lainnya. Strategi berbasis komunitas juga bukan mendorong satu komunitas lingkup kecil (misal kampung, dusun, desa, atau komplek perumahan) untuk menutup pintu masuk dan mencegah orang dari luar komunitas untuk masuk.

Strategi berbasis komunitas untuk menangani covid-19 seyogianya berorientasi pada proses untuk menguatkan SOC. Penanganan covid-19 berbasis komunitas perlu mencakup setidaknya dua hal berikut ini: pertama, proses terus-menerus menggugah kesadaran kolektif (collective awareness) bahwa pandemi covid-19 menerjang satu komunitas besar bernama Indonesia –bukan provinsi, kota, kabupaten, atau wilayah tertentu saja.

Kedua, proses terus-menerus menggugah solidaritas kolektif (collective solidarity) sehingga aksi-aksi solidaritas terus akan menjaga keberfungsian komunitas besar bernama Indonesia. Aksi-aksi solidaritas akan dapat merawat kesadaran tentang kebersamaan sekaligus melindungi mereka yang rentan.

Strategi berbasis komunitas untuk menangani covid-19 pada pokoknya bertujuan untuk memperkuat komunitas. Dengan terus tergugahnya kesadaran dan solidaritas kolektif dalam penanganan covid-19, kita bukan hanya dapat mempercepat penanganan covid-19 tetapi juga menjaga imaji kita tentang Indonesia. Imaji tentang Indonesia sebagai satu komunitas yang kompeten, berfungsi, dan bersatu.

 

Dicky Pelupessy, Dosen Fakultas Psikologi UI

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/read/detail/310164-memperkuat-komunitas-dalam-penanganan-covid-19

We are using cookies to give you the best experience. You can find out more about which cookies we are using or switch them off in privacy settings.
AcceptPrivacy Settings

GDPR

× Whatsapp Fakultas